Pakar Sosiolinguistik UPI: Isi Pesan Singkat Hary Tanoe Tak Penuhi Kategori Ancaman dari sisi linguistik
sinpo, Kasus mengenai isi pesan singkat atau SMS yang dikirimkan Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo kepada Kasubdit Penyidik Tipikor Kejaksaan Agung Yulianto telah memasuki babak baru, dimana Mabes Polri menetapkan bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo alias HT sebagai tersangka kasus SMS bernada ancaman ke Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Yulianto. Demikian diungkapkan Karopenmas DivHumas Mabes Polri Brigjen Rikwanto.
Pakar Sosio Linguistik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Mahmud Fasya S.Pd., M.A. mengatakan bahwa isi pesan singkat Hary Tanoe ( HT) tidak memenuhi unsur ancaman secara linguistik. Berikut ini wawancara khusus sinpo dengan Pakar Sosio Linguistik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI di jalan Dr. Setiabudhi, Bandung, Rabu (5/7/2017).
Menurut Anda Bagaimana arti Kalimat –Kalimat dari isi Pesan SMS HT itu?
Sesuai dengan kapasistas saya sebagai dosen linguistik, tentu saja saya hanya bisa menjelaskan isi sms tersebut dari sisi linguistiknya, karena untuk praktik peradilan di Indonesia saksi ahli itu kan hanya menjadi keterangan tambahan yang nanti memudahkan kerja penyidik, memudahkan kerja jaksa dan memudahkan kerja hakim, terutama hakim dalam mengambil keputusan
Jadi lagi-lagi kesimpulan akhir itu ada pada hakim, akan tetapi harus diperkuat oleh penjelasan analisis dari ahli linguistik, ahli pidana, ahli komunikasi termasuk ahli ITE.
Lalu, Apakah Ada unsur mengandung ancaman dari isi pesan sms HT kepada Jaksa Yulianto?
Setelah saya melakukan analisis konstruksi linguistik dari pesan singkat HT ke Jaksa Yulianto tidak menunjukkan tuturan yang berisi ancaman, karena secara kebahasaan tuturan yang isi ancaman itu bertipe komisif secara teori, apa itu tuturan komisif? Tuturan komisif janji, membatasi, mengarahkan mitra tutur. Biasa konstruksinya pun sudah khas, klo dalam bahasa inggris itu “ If Any” bila dalam bahasa indonesia itu “ Jika Maka”.
Contoh gampangnya dari ancaman seperti ini “ Jika kamu bohong, aku pukul sekarang juga” nah itu contoh mengancam. Dan ancaman si sanksinya tidak mengenakan sesuatu yang akan membebani, menyakiti dan memberatkan secara kebahasaaannya
Pertama Berdasarkan analisis sederhana itu dari sisi konstruksi linguistiknya, jelas sms tersebut tidak berkonstruksi tuturan komisif, tidak menunjukan adanya “ Jika Maka” tadi, lalu apasih isinya? Secara linguistik isi sms tadi terutama yang pertama itu cenderung tuturan asertif, tuturan yang lebih berupa tantangan, isi sms HT itu menantang Jaksa Yulianto seperti yang ada dalam isi sms tersebut “ mari kita buktikan siapa yang benar , siapa yang salah. siapa yang profesional siapa yang preman” nah itu berupa tantangan (asertif) secara ilmu bahasa bukan ancaman (komisif). Klo isi sms tersebut berupa tantangan (asertif) iya.
Kedua, saya menemukan fakta kebahasaan berikut nya misalnya penggunaaan sapaan “ Mas, saya, anda”. Nah sapaan seperti itu secara sadar digunakan oleh HT, artinya dia menunjukkan kesadaran dirinya bahwa orang yang disapa itu adalah orang yang dihormati, orang yang tidak layak direndahkan ataupun malah diancam. Maka dalam isi sms itu HT menggunakan “Mas, Saya, Anda”. Kalau orang yang diancam cenderungnya kan inferior posisinya tentunya akan direndahkan, minimalnya dipanggil “Kamu” bahkan lebih parah dengan kata-kata makian seperti “ Lo, Goblok (maaf) atau bajingan” itu merupakaan sapaan yang dipilih bila mau mengancam atau mau merendahkan. Nah ini ternyata sapaan bukan itu, ini juga menunjukkan bahwa HT sadar bahwa mitra tutur merupakan orang yang harus di hormati.
Jadi isi pesan singkat tersebut bukan ancaman?
Kalau kita liat dari sisi Logika penutur dan mitra tutur ya, tidak ada unsur ancaman (komisif) melainkan unsut tuturan asertif yang menantang seperti itu misalnya isi sms HT itu, kalau kita tidak merasa salah, kalau kita tidak merasa preman tentunya harusnya kita berani saja menerima tantangan tersebut, bahkan tidak harus merasa terancam atau tersinggung oleh tuturan itu kalau menurut saya.
Dalam tingkat tutur kita bisa mengarah untuk mengevaluasi penutur misalnya “ Goblok Kamu” kita tuh sebagai penutur “Saya” sudah mengevaluasi lawan tutur, bahwa lawan tutur saya ini memang bermental Goblok, Kalau si mitra tutur tidak merasa, ya harusnya tidak usah terbebani dengan evaluasi yan ada tadi. Di dalam isi sms itu karena masih memberikan pilihan “ Siapa yang benar dan Siapa yang salah, siapa yan profesional dan siapa yang preman” itu dalam teori tuturan, membuktikan masih memberikan pilihan kepada mitra tutur. Artinya penutur (Hary Tanoe disini) tidak betul-betul membatasi mitra tutur (Jaksa Yulianto), tidak mengevalusi secara saklek mitra tutur bahwa “ Kamu tuh Preman, Kamu tuh salah.” Tidak begitu. Penutur masih memberikan pilihan. Dari sisi ini HT aman tidak bersalah, karena beliau tidak mengevalusi lawan tutur tetapi memberikan pilihan sehingga itu kearah asertif berupa tantangan.
Menurut Anda, Bagaimana isi SMS ini bila dikaitkan dengan UU ITE?
Kalau diliat dari konstruksi kebahasaan sudah jelas bahwa isi sms itu tidak memenuhi ancaman, kalau yang diatur di UU ITE adalah tuturan- tuturan yang mengandung fitnah, mengancam, merendahkan dan pencemaran nama baik. Informasi atau transaksi elektronik yang merugikan, merendahkan, mengancam seseorang. Dan perlu diketahui bersama ini kan bukan status di media sosial, inikan benar-benar dikirimkan ke nomor personal, intinya di komunikasi bersifat pribadi, jadi menurut saya hal ini tidak melanggar UU ITE. Isi pesan sms tersebut bukan ancaman, kalau kita memberikan tantangan kan yah boleh saja masalah diterima atau tidak tergantung mitra tuturnya.
Sebenarnya yang membuka isi pesan sms ini kan justru jaksa (yulianto) itu sendiri, setelah dia melaporkan ke polisi akhirnya dia diwawancara oleh media barulah isi sms itu tersebar secara luas. Justru sebetulnya yang layak melaporkan kasus ini adalah HT, karena jaksa yulianto sudah menyebarluaskan secara tidak langsung dengan mau diwawancara oleh wartawan sehingga isi sms pribadi dari HT kepada Jaksa akhirnya tersebar luas. Mungkin seharusnya yang layak mempermasalahan ini dari sisi UU ITE adalah HT sebetulnya. Karena yang sebetulnya merupakan Ranah komunikasi pribadi kemudian menjadi konsumsi publik.
Jaksa Yulianto setidaknya adalah pejabat atau pegawai negeri yang notabene merupakan pelayanan publik, Bagaimana Anda melihat Sifat Komunikasi Warga Negara dengan pelayanan publik atau pejabat seperti hal tersebut?
Memang sekarang ini terjadi pergeseran nilai sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Dimana pada saat sebelum reformasi kondisinya kan serba tertutup, anti kritik, dan sesudah reformasi semuanya seolah-olah serba terbuka. Dulu memang anti dimana seorang warga negara bisa sms seperti itu kepada pejabat publik, tapi untuk konteks sekarang sesudah reformasi kebebasan pers dimana-mana, media sosial pun gampang di akses, hp digenggam siapa pun, termasuk nomor telpon pejabat publik dishare kemana-mana nampaknya ini menjadi tata nilai baru bahwa bentuk komunikasi seperti itu dianggap wajar antara warga dan pemerintahnya. Bentuk kritik, bentuk tantangan dari seorang warga negara ke pemerintah untuk bertindak lebih profesional dan serta menunjukkan perbuatan baik, tidak berbuat salah dan tidak menjadi preman. Dari sisi jaksa memang beliau tidak siap diajak komunikasi model seperti itu oleh rakyatnya.
Saya kalau dari sisi kebahasaan harus juga tahu untuk lebih lengkap, jaksa yulianto tuh sudah berapa tahun, etnisnya mana. Memang dari generasi itu ada beberapa generasi seperti generasi milenia, generasi x, generasi z hal ini membuat karakternya berbeda-beda. Bisa sedikit ambil kesimpulan jaksa yulianto masuk di generasi x yang terbilang sudah cukup senior karakter pasti akan berbeda dalam menyikapi sesuatu apalagi mungkin lebih muda HT dibandingkan beliau ada segi umur. Ini menjadi menarik dari sisi komunikasi lintas generasi, ada tata nilai yang memang berbeda karena didalam praktik berbahasa dikenai itu bahwa selain kita harus menggunakan kode tutur yang memang dipahami mitra tutur juga seyogyanya kita juga menyertakan norma juga, norma yang bisa diterima oleh keduanya. Ketika memang lintas generasi bisa jadi ada norma tutur yang tidak cocok antara penutur dan mitra tutur yang ujungnya menjadi miss komunikasi.
Bila kita lihat bersama dimasyarakat sekarang ini, secara umum mereka menilai bahwa posisi HT ini tidak bersalah? Mengapa disini terlihat bahwa pihak berwajib seperti sewenang-wenang? Apakah karena ada like or dislike dengan HT atau seperti apa?
Lagi-lagi saya harus kembali ke posisi saya sebagai akademisi (ilmuwan linguistik) didalam komunikasi dalam penggunaan bahasa memang penutur dan mitra tutur itu akan dikenai oleh konteks masing- masing. Dimana masing-masing mereka membawa embel-embel sosial, budaya, ideologi, politik segala macamnya melekat kepada penutur maupun mitra tutur sehingga nanti cocok dan tidak itu antara keduanya akan menjamin lancar tidaknya kelangsungan komunikasi. Mengapa kemudian kasus ini mencuat padahal banyak pakar yang menilai dari sisi linguistik, hukum, komunikasi dan ahli ite bahwa ini adalah komunikasi biasa antara warga dan aparatnya tetapi kemudian kenapa sih menjadi luar biasa, yah embel-embel dari siapa (who speak) itu lalu kepada siapa (to whom) itu tidak bisa dilepaskan. Siapa sih HT? HT adalah tokoh politik sekarang karena ketua umum partai, jaksa yulianto siapa? Yah aparat pemerintah yang tentu saja harus taat kepada atasannya orang mengaitkan itu wajar, siapa atasannya jaksa? Yaitu Jaksa Agung, Jaksa Agung itu siapa? HM Prasetyo, siapa dia? Kader Partai Nasdem, Nasdem tuh siapa? Surya Paloh. Lalu bagaimana hubungan antara HT dan Surya Paloh? Yah orang sudah tau karena sudah menjadi konsumsi publik. Tadinya kan satu bahtera kan kemudian berpisah bahtera. Lalu kemudian bagaimana aktifitas HT selama ini yang nampaknya memang dia lebih condong menjadi bagian oposisi dibandingankan bergabung menjadi bagian koalisi pemerintah kan. Yah dari sisi hubungan penutur dan mitra tutur yang seperti itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang tidak harmonis antara penutur dan mitra tutur sehingga memang masalah yang sederhana bisa saja digoreng menjadi panas tergantung pihak mana yang berkepentingan dengan hal itu, hal ini sudah menjadi hukum alam dari komunikasi yang tidak harmonis.
Menurut Anda, Bagaimana seharusnya seorang pejabat negara/publik menanggapi SMS yang terjadi seperti ini?
Ini yang penting bagi saya sebagai akademisi, sebagai pejabat publik di era teknologi informasi sekarang yan fotonya bisa tersebar kemana-mana, yang nomor hapenya bisa tersebar kemana-mana, saya saja yang dosen biasa, nomor hape begitu gampang tersebar. Jangan wartawan, yang menawarkan kartu kredit, yang mau menawarkan pinjaman uang itu juga bisa masuk kesaya. Kemudian pejabat publik masa kini harus melek media atau melek literasi, jadi sadar bahwa seiringan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi pejabat publik itu gampang diakses oleh siapapun sehingga harus siap menerima kontak, siap menerima tuturan, siap menerima penyampaian aspirasi pesan atau kritik dari warga karena tadi nomor kontaknya tersebar kemana-mana itu yang pertama.
Kedua, dalam kultur sekarang yang tata nilai berubah tadi seorang pejabat publik memang harus berlapang dada ketika menerima kritik dari warganya, karena memang tata nilai begini sekarang. Dulukan jurang pemisah antara para pejabat dengan rakyatnya begitu jauh nah sekarang nampaknya itu sudah terkikis, jadi seakan-akan kan pejabat tuh tidak dilihat sebagai menara gading lagi yang jauh diatas sana. Kan sekarang makanya presiden saja mengembar-gemborkan blusukan (mendekat ke warga), masa presidennya saja mencontohkan seperti itu yah sebaiknya kan aparat-aparat dibawahnya juga menirulah gaya presiden yang katanya dicitrakan merakyat itu, harus aparatnya bisa siap sedia untuk merakyat juga, merasa dekat dengan warganya. Bukti contohnya merasa dekat itu, yah tadi siap komunikasi seolah-olah menjadi teman bagi rakyatnya bukan lagi menjadi pejabat yang jauh dengan rakyat. Bukti komunikasi kepada orang terdekat apa? Yah biasa apa adanya, kalau kita ngomong dengan orang terdekat sudah tidak ada istilah jaim (jaga image), sudah tidak ada ewuh pakewuh lagi justru kalau komunikasi masih serba tertutup, tidak terbuka dan jaim artinya ada jarak, bentuk komunikasi yang dekat itu seperti tadi apa adanya, lugas kan begitu. Tidak banyak konotasi, tidak banyak eufemisme. Sebagai contoh kenaikan harga ohhh penyesuaian harga, bukan kenaikan listrik tapi subsidinya listriknya dicabut nah itu bentuk komunikasi yang tidak jujur sih seperti itu. Yang jujur mah kalau komunikasi dengan orang terdekat seperti istri, kalau dengan orang terdekat kan kita ngomong apa adanya, nah pejabat publik seyogyanya harus bisa membuka pola komunikasi dan interaksi yang seperti itu.
Harapan anda sendiri terhadap kasus yang ada sekarang ini seperti apa?
Harapan saya, dari sisi linguistik tadi saya sudah sampaikan bahwa isi pesan singkat HT kepada jaksa yulianto itu tidak memenuhi unsur ancaman, artinya jika HT dilaporkan karena diduga sebagai ancaman gugur dari sisi linguistik, tinggal nanti dari sisi hukum pidana, dari sisi ahli komunikasi, dari sisi ahli teknologi informasi dan komunikasi yang kemudian juga harus memberikan analisisnya kepada kasus ini, nah lalu kemudian kalau toh masuk ke persidangan hakim kemudian yang akan memutuskan, karena ini sudah menjadi konsumsi publik menurut saya yang kemudian berwenang meneruskan atau tidaknya kasus ini yah aparat hukum.
Hanya saya sebagai akademisi linguistik menunjukkan itu saja bahwa pesan singkat ini tidak memenuhi unsur ancaman secara linguistik, yah saya secara tersirat mengatakan bahwa gagal dong pengajuan HT sebagai orang yang disangka melakukan ancaman selanjutnya terserah ahli hukum yang menilai, ngerti dong dengan apa yang saya maksudkan dong ahli hukum, bahwa secara linguistik gagal itu bukan ancaman.

