Hardiknas 2021, Berikut 5 PR Besar Untuk Nadiem Makarim dari P2G

Hardiknas

Oleh: Rere
Senin, 03 Mei 2021 | 08:24 WIB
Ilustrasi sekolah. (Ist)
Ilustrasi sekolah. (Ist)

SinPo.id, Jakarta - Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Di tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengangkat tema Hardiknas 2020 "Serentak Bergerak Mewujudukan Merdeka Belajar".

"Namun jika diperhatikan secara seksama bagaimana Kemendikbud dan Mas Menteri Nadiem saat ini mengelola pendidikan, dua frasa dalam kalimat di atas justru mengandung kontradiksi di dalamnya," ujar Wakil Sekretaris Jenderal FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), Satriawan Salim dalam keterangannya di Jakarta, Senin, (3/5/2021).

Kata Satriawan, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mencatat, ada lima catatan evaluasi sekaligus refleksi atas peringatan Hardiknas 2021.

Pertama, frasa "Serentak Bergerak". Kenyataannya, Kemendikbud minim dalam melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan dalam mendisain kebijakan pendidikan nasional.

"Sudah banyak kasus kebijakan Mas Menteri yang menjadi polemik," katanya.

Dalam catatan P2G ada tujuh kasus yakni, Program Organisasi Penggerak yang menyebabkan PGRI, NU, Muhammadiyah undur diri.

Kemudian merdeka belajar yang menduplikasi hak merek dagang PT Sekolah Cikal, hilangnya pelajaran Sejarah dalam rencana penyederhanaan kurikulum, proses penyederhanaan kurikulum yang hingga kini tertutup, tidak transparan, serta tidak melibatkan semua pemangku kepentingan. Didominasi oleh lingkaran jaringan lembaga think tank Mendikbud.

Selanjutnya,  tidak adanya frasa "Agama" dalam Peta Jalan Pendidikan, hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam PP No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Terakhir, kamus Sejarah Kemendikbud yang tidak memasukkan beberapa tokoh nasional dalam lema (entri), seperti nama KH. Hasyim Asyari, AH. Nasution, Abdurrahman Wahid, bahkan selevel Sukarno dan Hatta. Di sisi lain malah memasukkan nama Abu Bakar Baasyir dalam lema.

"Polemik di atas berakhir dengan klarifikasi oleh Mas Nadiem," katanya.

Lebih jauh dia menjelaskan, Kasus PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP yang menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib, padahal menurut Pasal 35 Ayat 3 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mata kuliah tersebut wajib.

Sebenarnya PP SNP ini juga menghilangkan peran "Pengawas Sekolah"; BSNP; Badan Akreditasi Nasional S/M; dan LPMP.

Padahal keempatnya terdapat dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP SNP sebelumnya yakni PP No. 13/2015. Keempat badan tersebut diduga kuat akan dihilangkan Kemendikbud melalui PP SNP 57/2021.

"Tentu kebijakan ini berpotensi melanggar UU Sistem Pendidikan Nasional dan nyata-nyata kontradiktif dengan semangat 'serentak bergerak'. Begitu cerobohnya Kemendikbud membuat PP sehingga menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia, serta tak melibatkan lembaga-lembaga terkait yang keberadaannya berdasarkan UU. P2G mendesak Kemendikbud mencabut PP No. 57 Tahun 2021 tentang SNP tersebut yang hingga hari ini masih berlaku, karena revisinya pun belum ada diundangkan," ucap Koordinator Nasional P2G tersebut.

P2G menilai, Nadiem Makarim justru yang belum merdeka sesungguhnya dalam merencanakan dan mendisain kebijakan pendidikan nasional. Sebab sudah menjadi rahasia umum, Mendikbud sangat bergantung kepada peran tunggal satu jaringan sekolah swasta tertentu, yang sudah membangun koneksi kelembagaan selama ini.

"Sehingga tidak heran jika dalam tiap program Kemendikbud, khususnya di Dikdasmen dan Guru selalu melibatkan jaringan lembaga think tank tersebut, tercatat sejak kasus Merdeka Belajar sebagai Merek Dagang. Kemudian POP, AN/AKM, termasuk program-program Kemendikbud yang menggunakan istilah 'Penggerak', semuanya diadopsi bahkan diduplikasi dari program jaringan sekolah swasta tersebut," Timpal Kabid Advokasi Guru P2G, Iman Z Haeri dalam kesempatan yang sama.

Begitu pula dalam rencana "Penyederhanaan Kurikulum 2021". Kata Iman, ini hanya melibatkan orang-orang dalam lingkaran jaringan sekolah swasta ini, bahkan menjadi tim inti.

Keberadaan mereka justru mengganggu peran, kinerja, dan eksistensi struktur birokrasi internal dalam tubuh Kemendikbud sendiri.

Jadi patut diduga kuat, ada dominasi dan monopoli lingkaran jaringan satu lembaga swasta (eksternal) tertentu yang menguasai Kemendikbud dan Mendikbud saat ini.

Tentu ini kontradiktif dengan semangat gotong-royong pendidikan dan semangat bergerak bersama yang selalu digelorakan Nadiem Makarim.

Monopoli segelintir orang, kelompok, atau jaringan intelektual untuk mendominasi kebijakan pendidikan nasional yang tidak merepresentasikan keragaman bangsa dan bias kelas sosial, tidak hanya merugikan guru namun juga merugikan peserta didik, orang tua, masyarakat, dan cita-cita pendiri bangsa yang ingin mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.

"Lantas pertanyaan pokoknya, Merdeka Belajar itu Merdeka dari apa dan Merdeka untuk apa? Ini mesti dijawab secara tuntas oleh Kemendikbud," tanya Iman, yang merupakan guru Sejarah di SMA Al-Azhar Jakarta.

Kedua, frasa "mewujudkan merdeka belajar". Merdeka Belajar sejak lahir sudah mengandung polemik, ketika istilah Merdeka Belajar diklaim sebagai merek dagang oleh sebuah PT sekolah swasta.

Meskipun setelah diprotes habis-habisan oleh pegiat pendidikan, akhirnya dihibahkan kepada negara.

Episode Merdeka Belajar yang sudah mencapai Episode 10 terkesan parsial, walaupun ada beberapa program yang patut diapresiasi seperti penghapusan Ujian Nasional, relaksasi dan realokasi Dana BOS, dan Beasiswa LPDP yang diperluas untuk siswa dan guru.

Merdeka Belajar belum menyentuh persoalan ril sekolah, guru, dan kualitas pendidikan secara umum.

Masalah ril pendidikan nasional  menurut Anggi Afriansyah, Dewan Pakar P2G yaitu:, data menunjukkan, lebih dari 70 persen ruang kelas pada setiap jenjang pendidikan kondisinya rusak ringan/sedang maupun rusak berat (BPS, 2020).

Data BPS selanjutnya menujukkan 20,10 persen sekolah pada jenjang pendidikan SD tidak memiliki sumber air layak atau tidak memiliki sumber air.

Selain itu, tidak sampai 80 persen sekolah di setiap jenjang pendidikan memiliki toilet yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan.

Lalu 74,18 persen sekolah SMP tidak memiliki akses terhadap tempat cuci tangan. Kesenjangan Angka Partisipasi Murni (APM) antara daerah perkotaan dan pedesaan juga masih besar, makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi pula kesenjangannya (BPS, 2020).

"Begitu pula dengan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), masih di angka 8,90 tahun. Artinya rata-rata anak Indonesia bersekolah hanya sampai Kelas 9 SMP. Tampak pula ketimpangan RLS di pedesaan yang hanya mencapai 7,66 tahun (BPS, 2020). Kemudian Bank Dunia (2020) menyebutkan, tingkat pengetahuan guru Indonesia di bidang: Matematika dan Bahasa Indonesia adalah rendah, masih di bawah standar minimum. Sedangkan untuk bidang: Pedagogis justru skornya sangat redah, lebih parah dari Matematika dan Bahasa Indonesia," demikian tutur Anggi Afriansyah.

Anggi yang merupakan Peneliti LIPI melanjutkan, Uji Kompetensi Guru (UKG) masih di bawah standar minimum, skor di bawah 65 (skala 0-100). Begitu pula dalam perolehan skor PISA, nilai Indonesia konsisten di bawah rata-rata negara OECD untuk 3 bidang: Literasi, Matematika, dan Sains. Lebih tragis lagi untuk bidang "literasi", skor Indonesia (2018) sama persis dengan pertama kali kita ikut PISA 2000, yakni skor 371.

Anggaran digelontorkan sudah triliyunan rupiah sejak tahun 2000, namun hasil PISA kita merosot. Kualitas pendidikan nasional kita tidak sedang baik-baik saja.

Ketiga, negara gagal dalam memberikan pelayanan pendidikan selama pandemi kepada para siswa. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) makin membuka kesenjangan akses pendidikan antara siswa di urban area dan rural area.

Bantuan kuota internet hanya mampu diserap 35,5 juta nomor pengguna, padahal ada 59 juta orang dan nomor yang terdaftar di Kemendikbud. Keterserapan anggarannya rendah.

Di sisi lain, intervensi negara selama PJJ kepada siswa dan guru di daerah 3T atau pelosok yang tak memiliki gawai, laptop, dan internet tidak terlihat.

"Bantuan digitalisasi sekolah oleh Kemendikbud dengan mengirim 70.000 laptop (2020) ke sekolah di daerah, justru tanpa menyiapkan infrastruktur dasar seperti listrik dan jaringan internet memadai. Alhasil laptop tidak terpakai atau sia-sia, seperti terjadi di pedalaman Papua dan Papua Barat," lanjut Satriwan.

Keempat, perihal rencana Kemendikbud membuka sekolah serentak Juli 2021. P2G menilai, jika sekolah ingin dibuka serentak maka pemerintah, Pemda, dan sekolah mesti memenuhi 5 syarat utama berikut tanpa kecuali.

1. Tuntasnya vaksinasi kepada seluruh guru dan tenaga kependidikan secara nasional. Hingga April 2021 baru 746 ribu guru divaksin tahap pertama, padahal targetnya 5 juta pendidik dan tenaga kependidikan rampung divaksin hingga Juni, jadi proses vaksinasi memang agak terlambat.

2. Sekolah terlebih dulu mengisi Daftar Periksa yang dibuat Kemendikbud secara online, per 2 Mei masih ada 246.383 sekolah yang belum merespon dari total 535.460 sekolah. Yang sudah merespon pun mesti diverifikasi oleh Disdik dan Dinas Kesehatan setempat, tentu butuh waktu lagi. Artinya sekolah masih jauh dari kata siap untuk dibuka jika ditinjau dari kesiapan sarana prasarana.

3. P2G justru merekomendasikan agar Pemda dan Sekolah merujuk kepada Daftar Tilik Kesiapan Sekolah Dibuka yang dibuat IDAI yang berisi 19 item, sebab lebih terperinci, lengkap, dan hati-hati. Tentu akan semakin berkurang jumlah sekolah yang siap dibuka jika merujuk 19 Daftar Tilik ala IDAI tersebut.

4. Uji Coba PTM yang dilakukan oleh Pemda hendaknya benar-benar selektif, validasi dan akurasi tinggi, dan evaluasi berkala. P2G mengapresiasi Pemprov DKI Jakarta yang hanya meloloskan 85 sekolah untuk Uji Coba PTM, dari hampir 1000 sekolah yang ada di DKI. P2G merekomendasikan agar seluruh Pemda di Indonesia membuka hotline layanan pengaduan uji coba PTM, agar orang tua dan masyarakat umumnya dapat mengawasi pelaksanaan uji coba PTM.

Temuan P2G, rata-rata pelanggaran Prokes dan 3M terjadi baik di sekolah maupun selepas pulang sekolah, seperti: masker dipasang di dagu, tidak jaga jarak, dan tak adanya 3M di dalam angkutan umum. Kasus seperti ini contohnya terjadi di Kab. Bogor, Kota/Kab Bekasi, Kab. Situbondo, Kota Bukittingi, Kab. Agam, Aceh, Kab. Pandeglang, dan Kota Batam. Dinas Pendidikan dan Satgas Covid Daerah juga tidak memberikan sanksi baik kepada pribadi (siswa, guru) maupun sekolah, jika terjadi pelanggaran Prokes dan 3M tersebut. Perlakuan tegas hanya diberikan jika ada siswa/guru positif covid, berupa penutupan sekolah, kembali PJJ.

5. P2G meminta kepada Kemendikbud dan Pemda berkolaborasi dengan LPTK dan organisasi guru, memberikan pelatihan keterampilan Blended Learning dan Hybrid Learning yang didasarkan pada pedagogi digital kepada guru. Selama ini pelatihan yang dimaksud, hanya berorientasi pada keterampilan teknis guru dalam menggunakan platform digital saja, bukan kepada pemahaman dan keterampilan pedagogi digitalnya. Alhasil, pelatihan keterampilan yang sangat teknis ini hanya menguntungkan platform digital yang merupakan entitas bisnis. Dan hanya mengakomodir guru yang memiliki jaringan internet, untuk daerah pelosok sangat minim.

"P2G juga meminta kepada orang tua, siswa, dan guru untuk menunda mudik lebaran dan libur akhir semester nanti. Sebab potensi mobilitas penduduk yang tinggi selama mudik dan liburan semester dikhawatirkan akan meningkatkan angka positivity rate. Jika ingin sekolah dibuka Juli, para siswa, orang tua, dan guru harap menahan diri untuk tidak berpergian," cetus Iman.

Merujuk lima prasyarat di atas, P2G memandang sekolah belum bisa dibuka serentak secara nasional pada Juli 2021 nanti. Oleh karena itu, pemenuhan kesiapan daftar periksa, percepatan vaksinas guru, pelatihan keterampilan pedagogi digital bagi guru, adalah mendesak dilakukan.

Kelima, untuk kebijakan rekrutmen 1 juta guru ASN pada 2021, P2G memberikan apresiasi kepada Mendikbud, mengingat para guru honorer selama ini ingin kepastian status dan gaji yang layak dari pemerintah, walaupun statusnya Guru PPPK. Oleh karena itu, P2G mendorong agar:

1. Pemda memaksimalkan usulan formasi guru PPPK yang hingga April 2021 baru sekitar 513 ribu usulan, padahal kuota ada 1 juta formasi.

2. Mendorong Mas Nadiem untuk memberikan afirmasi tambahan kepada guru honorer K-2 dan honorer lainnya berdasarkan lama mengabdi. Afirmasi lama mengabdi yang tidak dipukul rata seperti kebijakan sekarang. P2G mengapresiasi afirmasi khusus Mendikbud kepada Guru Honorer yang sudah memiliki Sertifikat Pendidik, dalam proses seleksi Guru P3K.

3. P2G menagih janji Mendikbud agar tetap membuka lowongan seleksi Guru PNS tahun 2021 dan ke depannya, sesuai ucapan Mas Nadiem Januari 2021 lalu.

4. Sebelum semua guru honorer di sekolah negeri yang berjumlah hampir 1 juta orang terangkat menjadi PPPK dan PNS, P2G meminta Mendikbud membuat regulasi SKB 4 Menteri tentang Upah Layak Minimum Guru Honorer yang berlaku secara nasional. Tidak seperti saat ini, upah guru honorer bebeda-beda tiap daerah, apalagi honorer murni yang diangkat sekolah, banyak bergaji di bawah 1 juta/bulan, tentu ini sangat tidak manusiawi.sinpo

Komentar: