PB HMI: Negara Hukum Menuntut Kepatuhan Penuh pada Putusan PTUN
SinPo.id - Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan PB HMI Rifyan Ridwan Saleh menilai, ada dugaan inkonsistensi dalam langkah Mahkamah Konstitusi (MK), pasca dibatalkannya SK No. 17/2023 melalui Putusan PTUN Jakarta No. 604/G/2023/PTUN.JKT.
Setelah putusan tersebut, MK menerbitkan SK No. 8/2024. SK tersebut dinilai memiliki substansi yang tidak jauh berbeda dengan SK yang dinyatakan cacat kewenangan oleh PTUN.
Rifyan menyampaikan tindakan demikian berpotensi mengaburkan prinsip-prinsip negara hukum. Terutama kewajiban lembaga negara untuk melaksanakan putusan pengadilan secara utuh.
“Dalam negara hukum, putusan pengadilan bukan saran, itu perintah,” kata Rifyan, dalam keterangannya, Kamis, 11 Desember 2025.
Advokat dan Managing Partner RRS & Partners ini mengutip Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan Indonesia menganut doktrin supremacy of law. Oleh karena itu, setiap organ negara, termasuk Mahkamah Konstitusi, harus menjadi teladan dalam menjalankan kepastian hukum dan perintah pengadilan.
“Putusan PTUN telah membatalkan SK No. 17/2023 secara jelas. Pelaksanaannya harus mengembalikan keadaan seperti semula (restitutio in integrum). Tidak boleh ada keputusan baru yang pada dasarnya hanya mengganti nomor tetapi mempertahankan substansi lama,” tuturnya.
Menurut Pasal 24C ayat (4) UUD 1945, Ketua dan Wakil Ketua MK wajib dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi melalui Rapat Pleno Hakim (RPH). Karena itu, tidak ada mekanisme lain, baik etik, administratif, ataupun interpretasi internal yang dapat menggantikan prosedur konstitusional tersebut.
Rifyan menegaskan pemilihan pimpinan MK bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut legitimasi konstitusional lembaga yudikatif tertinggi di bidang konstitusi. Menurut dia, jika benar ada ketidakselarasan MK dengan putusan pengadilan dapat melemahkan kepercayaan publik.
“Ketika lembaga yang harusnya menjadi wasit tertinggi justru memilih jalan yang meragukan dari sisi hukum, maka akan muncul persepsi bahwa konstitusi bisa ditafsirkan semaunya. Ini berbahaya bagi stabilitas negara hukum kita," tandasnya.
