Wamendagri Kritik Kepala Daerah yang Salah Gunakan Survei
SinPo.id - Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menyoroti praktik sejumlah kepala daerah yang hanya memanfaatkan survei untuk mengukur elektabilitas, bukan untuk membaca kebutuhan masyarakat. Dia menyebut cara pandang itu membuat pelayanan publik tidak bertumpu pada persoalan warga.
“Banyak kepala daerah mengira survei hanya untuk melihat siapa yang unggul. Padahal survei justru membuka peta masalah yang seharusnya menjadi dasar kebijakan,” kata Bima dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 28 November 2025.
Bima menjelaskan survei merupakan alat paling efektif untuk menangkap opini publik, terutama menjelang penetapan kebijakan strategis. Ia menekankan perlunya lembaga survei yang kredibel agar kepala daerah memahami dengan tepat aspirasi masyarakat.
“Yang paling penting bukan angka elektabilitasnya, tetapi pesan yang disampaikan warga melalui survei. Dan ini sering kali tidak terbaca,” tuturnya.
Dia pun mencontohkan pengalamannya ketika menjabat Wali Kota Bogor. Pada 2012, setahun sebelum pemilihan, dia melakukan survei yang menunjukkan tiga persoalan utama, yakni kemacetan, pengelolaan sampah, dan persepsi publik mengenai inklusivitas kota. Menurutnya, temuan itu menjadi dasar penentuan prioritas pembangunan.
“Survei itu memandu arah kerja kami. Dari situ terlihat apa yang harus dibenahi pertama kali,” katanya.
Bima juga menceritakan reformasi pengelolaan sampah yang dirinya lakukan berangkat dari hasil survei tersebut. Pendekatan hulu ke hilir diterapkan melalui edukasi rumah tangga, pemilahan sampah, dan penguatan kerja komunitas.
Dia menyebut praktik Surabaya sebagai rujukan yang kemudian menginspirasi lahirnya program “Bogorku Bersih”, berbasis komunitas itu akhirnya mengantarkan Kota Bogor kembali meraih Piala Adipura setelah 28 tahun.
Selain sampah, isu transportasi menjadi tantangan besar lain bagi Bogor. Kultur sejuta angkot, kata dia, tidak dapat diubah hanya dengan menambah armada atau membangun jalur baru.
Bima menyampaikan, pemerintah saat itu mendorong Program Konversi Angkot dengan mengintegrasikan tiga angkot menjadi satu bus.
“Transportasi publik tidak akan berhasil kalau hanya mengandalkan infrastrukturnya. Budaya warganya juga harus berubah,” ujar Bima.
