Mereka yang Tak Tampak Mengetuk Mimbar MK dalam Uji Materi UU Disabilitas

Laporan: Bayu Primanda
Rabu, 22 Oktober 2025 | 21:07 WIB
Para pemohon uji materi UU Disabilitas (Sinpo.id/Tim Media)
Para pemohon uji materi UU Disabilitas (Sinpo.id/Tim Media)

SinPo.id -  Perjuangan agar orang dengan disabilitas fisik tak tampak akibat penyakit kronis mendapatkan pengakuan dan pelindungan negara di UU Disabilitas masih berlanjut.

Upaya tersebut teregistrasi di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor Perkara 130/PUU-XXIII/2025 (130/2025) yang menguji bagian Penjelasan dari Pasal 4 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Pemohon dari Perkara 130/2025 adalah Raissa Fatikha (orang dengan nyeri kronis Thoracic Outlet Syndrome/TOS) dan Deanda Dewindaru (orang dengan autoimun Sjogrën’s Disease) yang mengalami keterbatasan dalam menjalankan fungsi sosial akibat penyakit kronisnya, atau disebut sebagai disabilitas taktampak (invisible disability).

Sidang IV diselenggarakan pada hari Selasa, 7 Oktober 2025 dengan Mendengar Keterangan Presiden dan DPR. Pada sidang tersebut, Presiden diwakili oleh Supomo, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI.

Sedangkan, perwakilan DPR kembali tidak menghadiri persidangan. Persidangan kemudian berlanjut pada Sidang V di hari Selasa 21 Oktober 2025 dengan agenda Mendengar Keterangan DPR serta Saksi dan Ahli dari sisi Pemohon. DPR diwakili oleh Sari Yuliati.

Para Pemohon menilai bahwa Penjelasan dari Pasal 4 ayat (1) UU Disabilitas belum mengakomodasi kondisi disabilitas fisik yang taktampak. Sebab, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) secara terbatas mendefinisikan penyandang disabilitas fisik sebagai “terganggunya fungsi gerak”.

Padahal, berdasarkan ICF (International Classification of Functioning, Disability and Health), bentuk keterbatasan fungsi pada disabilitas fisik dapat pula bersifat taktampak, seperti kelelahan kronis, nyeri, maupun penurunan atau masalah pada fungsi organ/sistem organ.

Lebih jauh lagi, CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) yang menjadi dasar dari UU Disabilitas mendefinisikan disabilitas sebagai “evolving concept” (konsep yang berkembang).

Artinya, konsep maupun definisi disabilitas itu sendiri tidak boleh dibatasi secara kaku. Oleh karena itu, Pemohon ingin Penjelasan dari Pasal 4 ayat (1) dari disabilitas fisik dapat diperluas pemaknaannya menjadi “terganggunya fungsi fisik”.

Perlu ditekankan pula, Para Pemohon tidak bermaksud menjadikan semua penyakit kronis sebagai disabilitas. Melainkan, Para Pemohon menekankan pentingnya UU Disabilitas untuk mengakui adanya disabilitas fisik taktampak akibat penyakit kronis tertentu yang secara signifikan menyebabkan keterbatasan fungsi sosial.

Akan tetapi, pada Sidang IV dan V, Presiden dan DPR mengklaim bahwa UU Disabilitas telah sesuai prinsip pada CRPD maupun ICF.

Pemerintah dan DPR memilih untuk mempertahankan UU Disabilitas dan sistem yang selama ini belum menjangkau kelompok dengan disabilitas fisik taktampak akibat penyakit kronis.

Bahkan, DPR menilai bahwa perluasan definisi disabilitas fisik agar bisa mencakup kondisi disabilitas akibat penyakit kronis berpotensi kontraproduktif dan mengurangi efektivitas alokasi sumber daya.

Meskipun begitu, Pemerintah dan DPR sebenarnya secara implisit mengakui bahwa penyakit kronis dapat menyebabkan disabilitas dan penentuan kedisabilitasan tersebut membutuhkan asesmen dari tenaga medis.

Untuk memperkuat permohonan, Para Pemohon mendatangkan Ahli dan Saksi yang memberikan keterangannya secara langsung di Sidang V. Ahli dari sisi Pemohon adalah Bahrul Fuad (Komisioner Komnas Perempuan 2020-2025) dan Muhammad Joni Yulianto (Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel/SIGAB). Sedangkan Saksi adalah Fadel Nooriandi (penyintas Talasemia Beta Mayor).

Saksi Fadel Nooriandi menceritakan realita pengalaman individu dengan Talasemia. Talasemia merupakan penyakit genetik yang menyebabkan tubuh tidak dapat memproduksi sel darah merah yang normal.

Akibatnya, individu Talasemia harus menjalani transfusi darah seumur hidup dan mengalami kelelahan kronis serta terganggunya fungsi organ jantung, hati, limpa dan pankreas.

Banyak dari individu Talasemia yang mengalami diskriminasi dan stigma sosial di tempat kerja maupun sekolah, serta sulit mendapatkan akomodasi yang layak. Termasuk dirinya, Fadel pernah mengalami bullying selama bersekolah yang menyebabkan dirinya hampir putus sekolah. Ia juga sempat kesulitan mendapatkan pekerjaan karena riwayat kesehatannya.

Kemudian, Ahli Bahrul Fuad menyampaikan disabilitas sebagai konsep yang berkembang (evolving concept) dan merupakan hasil interaksi antara keterbatasan fungsi individu–baik yang bersifat tetap, jangka panjang, maupun episodik—dengan hambatan lingkungan dan sikap sosial yang membatasi partisipasi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

Kerangka konsep tersebut sudah diadopsi secara normatif di Pasal 1 angka 1 UU Disabilitas yang mendefinisikan disabilitas berdasarkan pendekatan fungsional dan interaksional. Akan tetapi, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a sering ditafsirkan secara sempit, seolah-olah disabilitas fisik hanya terbatas pada fungsi gerak.

Menurut Bahrul Fuad, Penafsiran yang reduksionis ini menyebabkan diskriminasi sistemik dan hilangnya akses ke hak atas pelindungan, layanan, dan akomodasi yang layak pada individu dengan disabilitas fisik taktampak, termasuk yang kondisinya episodik.

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) juga berisiko menimbulkan inkonsistensi internal atau tidak harmonis dengan definisi umum dari disabilitas dalam Pasal 1 angka 1. Seharusnya, disabilitas ditafsirkan secara inklusif, fungsional, dan interaksional, yang tidak terbatas pada disabilitas fisik yang tampak maupun yang mengalami gangguan fungsi gerak saja. Tolak ukur yang perlu digunakan bukan hanya diagnosis medis semata, melainkan dampak terhadap fungsi dan partisipasi sosial individu.

Kemudian, Ahli Joni Yulianto memberikan keterangan bahwasannya advokasi yang dilakukan Para Pemohon dengan menguji UU Disabilitas sudah sejalan dengan gerakan disabilitas di tingkat global, seperti di Inggris dan Australia.

Saat ini di Indonesia, yang menjadi masalah adalah orang dengan penyakit kronis yang mengalami hambatan berpartisipasi sosial tidak memiliki ruang dan sangat kesulitan untuk menyampaikan hambatan mereka. Sebab, asesmen disabilitas masih berdasarkan kondisi yang tercantum pada Penjelasan Pasal 4 ayat (1).

Frasa “antara lain” di Penjelasan Pasal 4 ayat (1) tidak secara otomatis menguatkan hambatan-hambatan yang dialami oleh individu disabilitas fisik taktampak akibat penyakit kronis yang tidak tercantum secara jelas di definisi penyandang disabilitas fisik.

Ahli Joni Yulianto juga menekankan pentingnya asesmen yang dilakukan secara multidisiplin, yang melibatkan dokter, psikolog, maupun disiplin lain yang terkait.

Kemudian, yang menjadi penentu bukan diagnosis penyakit kronis itu sendiri, melainkan dampak dari penyakit kronis dan interaksi dari lingkungan sosial. Jika permohonan ini dikabulkan, negara bisa mencegah terjadinya diskriminasi ganda yang dialami oleh individu disabilitas taktampak yang selama ini tidak direkognisi pada UU Disabilitas.

Hal ini juga menunjukkan komitmen negara untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak penyandang disabilitas apa pun jenis dan ragamnya.

Ahli Bahrul Fuad dan Joni Yulianto juga menyampaikan pendapatnya terhadap klaim Presiden bahwa hak orang dengan penyakit kronis sudah dilindungi oleh UU HAM, UU Kesehatan, dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Menurut keduanya, UU tersebut memiliki semangat dan perspektif yang berbeda dengan UU Disabilitas. UU sebelumnya juga banyak memiliki kekosongan yang tidak menyentuh aspek yang berkaitan dengan hambatan berpartisipasi sosial akibat interaksi keterbatasan fungsi dan lingkungan.

UU Disabilitas juga berfokus pada pemenuhan hak dan bukan sekadar penyembuhan. Pemenuhan hak ini juga menjadikan orang dengan fungsi yang dimiliki untuk bisa menjadi lebih berdaya dan tetap berpartisipasi sosial secara aktif berdasarkan kesetaraan hak.

Oleh karenanya, penting untuk mengakui disabilitas taktampak akibat penyakit kronis sebagai penafsiran dari disabilitas fisik. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI