Reformasi Perbukuan Nasional Dari Subsidi, Pajak hingga Fee Penulis

Laporan: Juven Martua Sitompul
Jumat, 10 Oktober 2025 | 11:56 WIB
DPR menggelar Rapat Paripurna Khusus membahas kinerja DPR 2024-2025 (Ashar/SinPo.id)
DPR menggelar Rapat Paripurna Khusus membahas kinerja DPR 2024-2025 (Ashar/SinPo.id)

SinPo.id -  Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menegaskan keseriusannya memperjuangkan Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Perubahan aturan ini sangat penting untuk memperkuat ekosistem literasi nasional.

"Ini sebenarnya barang lama, saya sudah menjadikan ini niatan dari awal, cuman waktu di Baleg periode kemarin ndak sempat, karena fokus pada RUU PPRT, RUU Masyarakat Hukum Adat dan RUU Pendidikan Kedokteran. Barulah periode 2024-2029 ini karena sudah tidak di Baleg, sekarang di Komisi XIII, ini saya seriusin," kata Willy dalam keterangannya, Jakarta, Jumat, 10 Oktober 2025.

Dia menjelaskan salah satu kelemahan mendasar UU Nomor 3 Tahun 2017 adalah adanya dikotomi antara buku diktat sekolah dengan buku umum. Kondisi ini membuat alokasi subsidi hanya fokus pada buku pelajaran, sementara buku umum kurang mendapatkan perhatian.

"Hal paling fundamental adalah di dalam UU 3/2017 itu mendikotomikan antara buku diktat sekolah sama buku umum, sehingga alokasi subsidi fokus itu hanya pada diktat sekolah. Nah, buku yang umum tidak dapatkan perhatian yang selayaknya. Konteks inilah kemudian bahwa semua buku itu adalah materi pembelajaran, semua buku itu adalah sumber ilmu pengetahuan," kata Willy. 

Legislator dari Fraksi Partai NasDem ini juga menyoroti masalah ekosistem perbukuan, mulai dari rendahnya fee penulis, tingginya biaya distribusi, hingga beban pajak yang menjerat industri penerbitan.

"Penulis itu paling top Pramoedya itu paling dapat cuma 15 persen tapi yang lain-lain ya 7 persen rata-rata. Bisa bandingin dengan penulis di Barat, pengarang Harry Potter JK Rowling itu kaya nauzibillah. Di kita, habis itu hanya untuk distribusi, 50-60 persen habis untuk distribusi," ujar Ketua Koordinator Bidang Ideologi Organisasi dan Kaderisasi DPP Partai NasDem ini.

Selain itu, menurutnya beban pajak semakin memberatkan, mulai dari PPN 11 persen untuk buku, pajak impor, hingga pajak kertas yang mencapai 22 persen. 

"Yang paling gila dari proses ini adalah pajak kertas. Kertas-kertas itu dipajakin 22 persen," ucapnya

Willy menyebut Perubahan UU Sistem Perbukuan akan diarahkan pada skema subsidi, afirmasi, kebijakan kertas, fee penulis, dan distribusi yang lebih efisien. Dia menegaskan Indonesia punya sejarah panjang literasi yang patut dibanggakan.

"Kalau kita belajar dari sejarah kita, kita ndak jelek-jelek amat juga. Ini bangsa hebat. Sumatera Tengah di awal abad 20 itu sudah menjadi pengekspor buku. Kota Padang Panjang yang kecil itu aja ada 8 penerbit. Buya Hamka kawin itu dari honor menulis," kata Willy. 

Dia optimistis rencana revisi ini berjalan mulus dengan dukungan Presiden Prabowo Subianto. 

"Kalau saya yakin, karena Pak Prabowo itu orang yang komit terhadap literasi. Kenapa, ini amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ini instrumennya. Kalau enggak, masa kita mengalami declining IQ secara serius, apalagi sekarang hoaks luar biasa," tegas Wakil Ketua Baleg DPR 2019-2024 ini. 

Perubahan UU Nomor 3 Tahun 2017 Masuk Prolegnas prioritas 2026. Sebelum 2025 berakhir, Willy menargetkan RUU Sistem Perbukuan ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI