PHRI Minta Raperda Kawasan Tanpa Rokok DKI Jakarta Lebih Berimbang

Laporan: Sigit Nuryadin
Minggu, 28 September 2025 | 21:56 WIB
Ilustrasi rokok. (SinPo.id/Freepik)
Ilustrasi rokok. (SinPo.id/Freepik)

SinPo.id - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI agar lebih cermat dalam merancang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR). 

Anggota Badan Pengurus Daerah PHRI Jakarta, Arini Yulianti menilai, kebijakan tersebut perlu dirancang secara proporsional dan kontekstual, agar tidak menimbulkan tekanan ekonomi bagi sektor perhotelan.

“Bukan berarti kami menolak pengendalian tembakau. Tapi kebijakan ini harus mempertimbangkan realitas pelaku usaha di lapangan,” ujar Arini dalam keterangannya, Minggu, 28 September 2025.

Menurut Arini, Raperda versi terbaru dinilai jauh lebih ketat dibanding aturan sebelumnya. Berdasarkan survei internal yang dilakukan PHRI DKI Jakarta, sekitar 50 persen pelaku usaha hotel menyatakan khawatir operasional bisnis mereka akan terdampak signifikan jika aturan tersebut disahkan dalam bentuk saat ini.

Dia menuturkan, sebagian pelaku usaha bahkan memperkirakan potensi peralihan konsumen ke kota-kota lain yang memberlakukan regulasi lebih fleksibel. 

“Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi soal daya saing antarwilayah,” tuturnya. 

PHRI menyebutkan, pada April 2025, survei yang mereka lakukan menunjukkan 96,7 persen hotel mengalami penurunan tingkat hunian. Situasi ini, kata Arini, sudah cukup memukul industri yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi dan ketidakpastian ekonomi.

“Banyak yang akhirnya harus mengurangi jumlah karyawan dan menahan ekspansi. Kalau regulasi baru ini diterapkan tanpa kompromi, tekanan terhadap industri bisa semakin besar,” kata Arini. 

Arini mengingatkan bahwa industri perhotelan dan restoran menyumbang kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta, yakni sekitar 13 persen dan menyerap lebih dari 600 ribu tenaga kerja. 

Oleh karena itu, dia meminta agar penyusunan kebijakan tetap melibatkan dialog intensif dengan para pemangku kepentingan.

“Kami berharap ada ruang untuk menyeimbangkan kepentingan kesehatan publik dengan keberlanjutan usaha. Jangan sampai Jakarta sekadar mengejar status kota global, tapi mengabaikan implikasi sosial-ekonomi yang nyata,” tandasnya. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI