Pakar Kesehatan: Kecacingan Berdampak Buruk pada Paru-paru, Bikin Gagal Nafas

Laporan: Tio Pirnando
Jumat, 22 Agustus 2025 | 15:02 WIB
Ilustrasi. Balita di Sukabumi, Raya, meninggal dengan tubuh penuh cacing. (SinPo.id/iStockphoto/Christoph Burgstedt)
Ilustrasi. Balita di Sukabumi, Raya, meninggal dengan tubuh penuh cacing. (SinPo.id/iStockphoto/Christoph Burgstedt)

SinPo.id - Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof. Tjandra Yoga Aditama, mengaku berduka dan sedih, atas wafatnya seorang balita bernama Raya (4) di Sukabumi, Jawa Barat, setelah tubuhnya dipenuhi cacing. Untuk rinciannya, perlu menunggu penjelasan resmi dari pihak Rumah Sakit. 

"Tentu kita amat berduka, dan kita tunggu penjelasan rinci dari Rumah Sakit yang merawatnya tentang bagaimana perjalanan penyakit yang sebenarnya terjadi dan alat tubuh mana saja yang terdampak," kata Prof Tjandra kepada wartawan, Jumat, 22 Agustus 2025. 

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini menyampaikan, salah satu alat tubuh yang mungkin saja dapat mengalami dampak buruk dari penyakit akibat cacing (kecacingan) adalah paru-paru. Namun, yang utama dan lebih sering terjadi adalah gangguan di saluran cerna. 

Jika masalah kecacingan sampai ke paru, maka ada berbagai kemungkinan gejala, seperti batuk, sesak napas, suara mengi. Dan yang lebih berat dapat terjadi nyeri dada, batuk darah hingga batuk keluar cacing. 

"Walaupun jarang maka memang dapat timbul penyakit yang lebih berat, antara lain dalam bentuk pneumonia, cairan di paru (efusi pleura), paru yang kolaps (pneumotoraks). Lebih jarang lagi dapat terjadi keadaan yang disebut sindrom 'Loeffler', hipertensi paru dan bahkan gagal napas dalam bentuk ARDS, dan lain-lain, " ucapnya

Dia menerangkan, diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan dahak, bronkoskopi dengan tehnik Bronchoalveolar Lavage (BAL) dan pemeriksaan radiologi dalam bentuk ronsen toraks dan atau pemerikaan CT Scans. 

"Pengobatannya adalah dengan obat antihelmintik, seperti  albendazole, mebendazole, dan atau ivermectin, tentu selain pengobatan simtomatik dan suportif lainnya," ujarnya. 

Lebih lanjut, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kementkes ini mengungkapkan,  sejumlah hal penting yang perlu diperhatikan sebagai pembelajaran dari peristiwa tersebut. Seperti menunggu penjelasan resmi pihak RS, menindaklanjuti di sekitar pemukiman anak ini, untuk melihat kemungkinan cacing di lingkungan sekitarnya dan penanganan segera supaya tidak ada kasus yang menyedihkan lagi.

Menurut WHO, tutur Tjandra, penyakit akibat cacing adalah infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis parasit cacing, seperti cacing gelang (Ascaris Lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris Trichiura) dan cacing tambang yang dapat berupa Necator Americanus  dan  Ancylostoma duodenale.  Selain itu juga ada Strongyloides Stercoralis.

Berikutnya, penularannya melalui telur cacing yang ada di tinja yang kemudian mengkontaminasi tanah, utamanya di daerah yang buruk sanitasinya. Telur cacing tersebut dapat tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah yang terkontaminasi, lalu memasukkan tangan mereka ke dalam mulut tanpa mencucinya. 

"Tentu saja ada cara penularan lain seperti melalui air yang tercemar, dan lain-lain," ujarnya. 

Selain itu, anak yang terinfeksi biasanya mereka yang dengan gangguan fisik dan nutrizi. Artinya gizinya tidak baik.  Dan, untuk penanganan kecacingan ini, maka WHO menyampaikan setidaknya ada empat pendekatan, yaitu konsumsi obat cacing secara berkala, penyuluhan kesehatan, memperbaiki sanitasi dan jika sudah terjadi penyakit maka sebenarnya sudah tersedia obat yang aman dan efektif untuk mengobatinya.

"WHO sudah mencanangkan target global pengendalian kecacingan (Soil-transmitted helminth) untuk tahun 2030. Tentu akan bagus kalau kita di Indonesia juga menetapkan target yang jelas pula, apalagi kalau kita akan menyongsong Indonesia Emas 2045 yang tentu tidak elok kalau masih ada masalah kecacingan di masa itu nantinya," tukasnya. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI