HIPMI Dukung Danantara Larang Komisaris BUMN Dapat Tantiem-Insentif

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 04 Agustus 2025 | 11:23 WIB
Ilustrasi Wisma BPI Danantara. (SinPo.id/dok. Danantara)
Ilustrasi Wisma BPI Danantara. (SinPo.id/dok. Danantara)

SinPo.id - Sekretaris Jenderal BPP HIPMI Anggawira menilai, keputusan Danantara melalui Surat No. S-063/DI-BP/VII/2025 yang melarang pembayaran tantiem dan insentif variabel bagi Dewan Komisaris BUMN sejak tahun buku 2025, merupakan langkah reformasi yang patut diapresiasi. Meskipun kebijakan ini menuai polemik, terutama dari pihak yang menilai kebijakan bertentangan dengan struktur Two Tier Board yang dianut BUMN di Indonesia. 

"Saya melihat keputusan ini sebagai momentum penting dalam memperbaiki ekosistem korporasi negara. BUMN bukan sekadar entitas bisnis, tetapi juga alat strategis negara dalam membangun kedaulatan ekonomi nasional," kata Anggawira di Jakarta, Senin, 1 Agustus 2025. 

Anggawira menyampaikan, transparansi, efisiensi, dan integritas dalam tata kelola menjadi syarat mutlak agar BUMN benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan elite.

Kebijakan ini juga sangat sejalan dengan agenda besar Asth Cita Presiden Prabowo. Salah satu butir utamanya adalah menegakkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, serta memaksimalkan manfaat BUMN bagi rakyat.

"Larangan tantiem komisaris adalah cermin nyata dari semangat ini. Ia mengirimkan pesan bahwa reformasi tidak hanya menyasar sektor luar, tetapi dimulai dari tubuh negara sendiri," ucapnya. 

Menurut Anggawira, dalam praktiknya, pemberian tantiem kepada komisaris BUMN tidak selalu mencerminkan kualitas pengawasan atau nilai tambah strategis. Tak jarang, jabatan komisaris lebih bersifat politis, dengan kehadiran minim dan kontribusi terbatas, namun tetap menikmati bonus berbasis kinerja laba perusahaan.

"Reformasi yang dilakukan Danantara ingin mengakhiri warisan pola kompensasi seperti ini. Prinsipnya jelas: penghargaan harus mencerminkan kontribusi nyata dan terukur, bukan sekadar formalitas jabatan," paparnya. 

Adapun kritik terhadap kebijakan ini sebagian besar mengacu pada struktur hukum Two Tier Board yang memisahkan fungsi pengawasan dan eksekutif. Kritik ini valid, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa sistem tersebut pun dapat disalahgunakan bila tidak dibarengi desain insentif yang sehat.

"Jika ada komisaris yang bekerja keras, memimpin komite audit, memberi arah transformasi, dan memikul risiko hukum, maka penghargaan tetap dapat diberikan. Namun bentuknya harus berbasis Key Performance Indicator kelembagaan, dievaluasi secara independen, dan akuntabel kepada publik,"tegasnya. 

Bagi Anggawira, reformasi BUMN ini sangat mendesak untuk menghindari konflik kepentingan. Komisaris yang memperoleh insentif dari laba perusahaan, rentan menjadi permisif terhadap keputusan direksi yang tidak sehat secara jangka panjang.

"Reformasi ini memaksa proses seleksi dan evaluasi komisaris berpindah dari pendekatan politis ke arah profesionalisme berbasis kontribusi. BUMN adalah pelayan negara. Jabatan komisaris bukanlah privilege, melainkan amanah yang menuntut integritas, bukan insentif, " tegasnya. 

Lebih lanjut, HIPMI memberikan rekomendasi agar reformasi ini tidak menjadi simbolis. Antara lain, bangun sistem evaluasi Dewan Komisaris berbasis kontribusi terhadap tata kelola dan pencapaian strategis.

Kemudian, kembangkan bentuk insentif non-finansial, seperti pengakuan reputasi, pelatihan kepemimpinan, dan keterlibatan dalam proyek strategis nasional.

"Libatkan lembaga independen seperti KPK, akademisi, dan masyarakat sipil dalam merancang ulang sistem insentif yang adil, efisien, dan kredibel," tukasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI