Bentrok Mematikan di Perbatasan Thailand-Kamboja Tewaskan 33 Orang, 168 Ribu Warga Mengungsi
SinPo.id - Ketegangan bersenjata di perbatasan Thailand dan Kamboja memasuki hari ketiga pada Sabtu 26 Juli 2025 dengan saling tuding antara kedua negara atas serangan baru yang menewaskan sedikitnya 33 orang dan memaksa lebih dari 168.000 warga mengungsi dari wilayah konflik.
Bentrokan dipicu oleh ledakan ranjau pada Kamis (24/7), yang melukai lima tentara Thailand di dekat garis perbatasan. Sejak itu, tembakan artileri dan senapan dilaporkan terjadi di beberapa desa perbatasan, memperluas zona konflik. Kedua negara saling menyalahkan atas insiden tersebut.
Kementerian Informasi Kamboja melaporkan 12 korban jiwa baru pada Sabtu, menjadikan total korban di pihak mereka menjadi 13 orang. Sementara militer Thailand mengonfirmasi satu tentara tewas tambahan, sehingga total korban di pihak mereka mencapai 20 orang, sebagian besar warga sipil.
Kedua negara telah menarik pulang duta besar masing-masing dan menutup perbatasan, menyusul memburuknya situasi.
“Ini adalah tindakan agresi yang disengaja dan tidak diprovokasi,” ujar juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, Letjen Maly Socheata, menyebut lima peluru artileri Thailand menghantam Provinsi Pursat.
Socheata juga menyebut kemungkinan bentrokan meluas ke wilayah laut di Provinsi Koh Kong, sementara pihak Thailand menuduh Kamboja menggunakan warga sipil sebagai “perisai manusia” dengan menempatkan senjata di dekat area permukiman.
Militer Thailand menyatakan Kamboja memulai serangan baru di Provinsi Trat, yang berbatasan langsung dengan Koh Kong. Mereka mengklaim berhasil memukul mundur pasukan Kamboja di tiga titik utama. Thailand juga menuduh proyektil Kamboja mengenai rumah-rumah warga di wilayah Laos, meski pihak Laos belum memberikan tanggapan resmi.
Organisasi Human Rights Watch mengecam kedua negara karena gagal mematuhi hukum kemanusiaan internasional. Thailand telah menutup 852 sekolah dan 7 rumah sakit karena alasan keselamatan. Anak-anak termasuk di antara korban luka.
Setelah awalnya membantah, juru bicara militer Thailand mengakui bahwa senjata terlarang seperti bom clusterdapat digunakan “jika diperlukan untuk mencapai tujuan militer.” HRW mengutuk keras penggunaan bom jenis ini di area berpenduduk.
“Thailand dan Kamboja sama-sama mengabaikan hukum kemanusiaan internasional, dan itu membawa dampak buruk bagi warga sipil,” ujar John Sifton, Direktur Advokasi Asia HRW.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan telah menghubungi para pemimpin Thailand dan Kamboja, dan memperingatkan bahwa negosiasi dagang dengan kedua negara tidak akan dilanjutkan jika kekerasan tidak dihentikan. Ia menyerukan gencatan senjata segera.
Dewan Keamanan PBB, dalam pertemuan darurat pada Jumat (25/7), menyerukan penghentian kekerasan dan solusi damai. ASEAN juga didesak menjadi mediator aktif. Malaysia, selaku ketua ASEAN saat ini, menyatakan kedua pihak terbuka untuk usulan gencatan senjata.
Menteri Luar Negeri Thailand, Maris Sangiampongsa, menyebut negaranya telah menyetujui gencatan senjata secara prinsip namun mendesak Kamboja agar terlebih dahulu menghentikan serangan.
“Thailand tetap berkomitmen menyelesaikan konflik secara damai dan sesuai hukum internasional,” tegas Maris.
Konflik perbatasan sepanjang 800 kilometer antara kedua negara telah berlangsung selama puluhan tahun. Namun, bentrokan kali ini disebut sebagai yang paling mematikan dan meluas dalam satu dekade terakhir. Dunia internasional kini menanti apakah ASEAN mampu menjadi penengah efektif sebelum konflik meningkat lebih jauh.
