P2G Soroti Kebijakan 50 Murid Dalam Satu Kelas

Laporan: Tio Pirnando
Minggu, 06 Juli 2025 | 17:39 WIB
Ilustrasi siswa-siswi SMA sedang mengikuti upacara (SinPo.id/ Dok. Dikbud)
Ilustrasi siswa-siswi SMA sedang mengikuti upacara (SinPo.id/ Dok. Dikbud)

SinPo.id - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyoroti kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait Pencegahan Anak Putus Sekolah. Kendati niatnya baik, namun kebijakan itu akan berdampak negatif serta kontraproduktif bagi guru dan siswa, mulai dari aspek pedagogis, psikologis, maupun sosial.

"Jika yang diharapkan Gubernur Jabar adalah 50 anak tiap kelas, ini sangat tidak efektif, akan berpotensi mengganggu proses dan kualitas pembelajaran di kelas. Kelas akan terasa sumpek, seperti penjara, mengingat luas ruang kelas SMA/SMK itu hanya muat maksimal 36 murid saja," kata Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri dalam keterangannya, Minggu, 6  Juli 2025. 

Iman menyampaikan beberapa resiko yang akan dihadapi, diantaranya adalah kelas menjadi pengap, suara guru tidak terdengar apalagi jika siswa berisik, kelas tidak kondusif, ruang gerak anak dan guru tidak ada, interaksi murid di kelas sangat terbatas, sarana prasarana tidak mencukupi, dan guru tidak bisa mengkontrol kelas. 

Kemudian, aturan Gubernur Jabar tersebut juga bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 tentang Juknis Pembentukan Rombongan belajar bahwa siswa SMA/MA/SMK/MAK maksimal 36 anak saja. 

Selain itu, menurut Iman, kebijakan ini tidak akan menyelesaikan masalah anak putus sekolah. "Anak putus sekolah di Jawa Barat memang menghawatirkan, ada sekitar 658 ribu. Kami menilai, memasukan 50 murid SMA ke satu kelas justru solusi instan jangka pendek," kata Iman.

Bagi Iman, sebagai bentuk Layanan Minimal Pendidikan yang sudah diatur dalam Permendikbudristek Nomor 32 Tahun 2022, kebijakan pencegahan anak putus sekolah harus berprinsip kesesuaian wewenang, ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, keterukuran dan ketepatan sasaran. Misal, melihat kondisi sekolah, ketersediaan guru, sarana prasarana, dan luas ruang kelas.

Iman mengingatkan bahwa tidak semua anak putus sekolah disebabkan karena tidak tertampung di sekolah negeri. Semestinya juga harus memperhatikan anak-anak putus sekolah yang memang punya pilihan lain, seperti pernikahan dini, anak berkonflik dengan hukum, menjadi pekerja anak, faktor kemiskinan, dan lainnya. 

"P2G kasih usul kongkret, agar KDM mempertimbangkan anak putus sekolah untuk dimasukkan ke madrasah negeri dan swasta, ke pendidikan non formal atau sekolah rakyat, yang semuanya juga full dibiayai negara," ungkap Iman.

Ia mencontohkan, jika anak putus sekolah itu termasuk miskin ekstrem desil 1 dan desil 2, bisa dipertimbangkan agar dimasukan ke sekolah rakyat yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Dengan demikian ada kesinambungan antara program pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

Iman juga memandang, Gubernur Jawa Barat harus mengharmonisasikan kebijakannya dengan kebijakan pendidikan pemerintah pusat. "Sangat disayangkan jika kedua program dengan tujuan mulia, berjalan sendiri-sendiri, atau malah tumpang tindih," kata Iman.

Iman menilai, selama beberapa bulan menjabat banyak kebijakan Gubernur Jabar yang tidak bersinergi dengan Kemdikdasmen, seperti mengirim anak nakal ke barak tentara. Sekarang ditambah dengan menampung 50 murid dalam satu kelas di SMA/SMK yang jelas-jelas melawan Permendikbudristek Standar Pengelolaan.

Kornas P2G Satriwan Salim menambahkan, kondisi kelas dan sekolah melebihi kapasitas akan mengganggu kesehatan mental anak dan guru.

Selain itu, anak tersebut belum jelas statusnya sebagai murid dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) karena masuk di luar kuota SPMB/PPDB.

"P2G khawatir murid-murid ini tidak akan dapat ijazah. Bisa dianggap sebagai siswa ilegal di kelas dan tentu merugikan hak-hak dasar anak dalam mendapatkan pendidikan," kata Satriwan.

P2G mengingatkan, sekolah SMA/SMK swasta berpotensi kekurangan murid bahkan bisa bubar jika kebijakan ini diterapkan Gubernur Jabar. Sebab murid akan bertumpuk terkonsentrasi di sekolah negeri. Tentu tidak akan menyelesaikan masalah anak putus sekolah. 

"P2G khawatir efek domino bagi sekolah swasta, lama kelamaan mereka bubar, dan para gurunya akan hilang pekerjaan. P2G menerima laporan dari SMA/SMK swasta di Jawa Barat yang mulai merasakan sepinya murid peminat sekolah mereka. Calon murid berkurang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti dialami SMA Bhakti Putra Indonesia di Cisewu Garut Selatan yang hanya menerima 13 calon siswa pendaftar. SMA Pasundan di kota Tasikmalaya hanya menerima 4 calon murid," ucapnya. 

Satriwan menyatakan, sebagai organisasi pendidikan dan guru, P2G menilai memasukkan anak ke kelas melampaui kapasitas normal adalah upaya mengatasi putus sekolah tetapi hanya fokus pada penurunan angkanya saja. Sehingga tidak dipikirkan dampak jangka panjangnya. 

Oleh karena itu, menurut Satriwan, P2G memberi empat solusi kongkret jangka panjang bagi Pemprov Jabar untuk melakukan pencegahan anak putus sekolah.

Pertama, Gubernur KDM hendaknya menambah ruang kelas atau rombongan belajar di SMA/SMK, kedua Pemprov bisa juga membangun Unit Sekolah Baru (USB), namun dengan syarat mutlak yaitu tetap mempertimbangkan eksistensi, sebaran, dan keberlanjutan sekolah swasta di sekitar.

Ketiga, ketimbang menambah murid dalam kelas di luar kapasitas normal, P2G mendesak agar sebaiknya Gubernur KDM melibatkan sekolah SMA/SMK/MA swasta dalam "Skema SPMB Bersama" untuk menampung anak-anak yang tak diterima di SMA/SMK Negeri karena keterbatasan kuota. Juga melalui penambahan dan perluasan beasiswa pendidikan, Kartu Indonesia Pintar, dan program bantuan biaya pendidikan lainnya.

"Skema SPMB Bersama SMA/SMK Swasta" ini adalah wujud spirit pelaksanaan makna pesan moral Keputusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang menekankan sekolah dasar gratis baik negeri maupun swasta.

Skema SPMB/PPDB yang melibatkan SMA/SMK swasta sudah dimulai Pemprov DKI Jakarta sejak 2018 silam di zaman Gubernur Anies Baswedan. Pemda membiayai pendidikan siswa SMA/SMK Swasta. Anak-anak bersekolah gratis, mereka bersekolah di swasta karena tak tertampung di sekolah negeri dan Pemprov menanggung biaya sekolahnya.

Skema SPMB Bersama tersebut sebagai bentuk kolaborasi Pemprov dengan yayasan sekolah swasta. Dan sebagai bentuk penghargaan pemerintah kepada pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.

Kemudian yang keempat, P2G mendorong agar pemerintah pusat bersama Pemda mewujudkan sekolah gratis berkualitas bagi masyarakat, sesuai dengan spirit pesan dari Keputusan Mahkamah Konstitusi. Sebab itu, P2G meminta Pemerintah Pusat dan Pemda menghitung kembali aspek ketersediaan dan kemampuan anggaran APBN dan APBD.

"Jangan sampai kebijakan Gubernur Jabar KDM ini 'membunuh' pelan-pelan sekolah swasta, yang selama ini sudah berjuang bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," tukasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI