Haidar Alwi: Forum Konsultatif Multipihak Jalan Tengah Tangani Sengketa Empat Pulau

Laporan: Tri Setyo Nugroho
Minggu, 15 Juni 2025 | 20:10 WIB
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi (SinPo.id/ Dok. Pribadi)
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi (SinPo.id/ Dok. Pribadi)

SinPo.id - Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi,  menyampaikan pengambilalihan penyelesaian kasus sengketa empat pulau oleh Presiden Prabowo Subianto langkah strategis, namun harus disertai dengan pendekatan yang lebih inklusif dan historis. Bagi Haidar, keputusan yang hanya berbasis dokumen administratif justru berpotensi menciptakan luka kolektif baru jika tidak menyentuh dimensi psikososial masyarakat.

“Masalah ini bukan sekadar peta dan titik koordinat. Ini tentang rasa memiliki, identitas komunitas, dan sejarah panjang yang tidak pernah benar-benar selesai,” tegas Haidar dalam keterangannya, Minggu, 15 Juni 2025.

Konflik bermula dari pencatatan jumlah dan nama pulau oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi sejak tahun 2008. Sumut memasukkan keempat pulau dalam daftar, sedangkan Aceh tidak, karena menggunakan nama-nama lokal seperti Malelo dan Rangit Besar. Ketidaksinkronan ini menimbulkan keraguan publik terhadap proses validasi data spasial yang seharusnya terbuka dan partisipatif.

Sejak 2008 hingga 2025, berbagai mekanisme administratif telah ditempuh, mulai dari verifikasi data, surat-menyurat antar gubernur, hingga analisis spasial Kemendagri. Bahkan keputusan administratif pun sudah dikeluarkan. Namun kenyataannya, tidak satu pun dari langkah-langkah tersebut berhasil mengakhiri sengketa secara damai dan final. Ini menunjukkan adanya kekosongan pendekatan yang selama ini gagal menyentuh dimensi sosial dan kultural masyarakat lokal.

Bagi Haidar Alwi, inilah kesalahan awal, seperti ketidakterlibatan masyarakat adat dalam proses verifikasi. Padahal, wilayah bukan hanya soal garis di peta, tetapi juga tentang struktur makna dalam kehidupan warga.

“Negara bekerja dalam logika formal. Tapi rakyat hidup dalam logika sejarah dan pengalaman. Kalau dua hal ini tidak disambungkan, yang timbul hanya ketegangan,” ujarnya.

Haidar menyarankan agar Presiden Prabowo Subianto segera membentuk forum konsultatif multipihak yang tidak hanya melibatkan unsur pemerintah, tetapi juga kekuatan keilmuan dan representasi masyarakat sipil yang relevan.

Menurut dia forum ini sebaiknya terdiri dari pejabat eksekutif pusat dan daerah, termasuk Kemendagri, Gubernur Aceh dan Sumut, serta Bupati wilayah terdampak.

Kemudian tokoh adat dan pemuka masyarakat lokal. Mulai dari lembaga pemetaan nasional seperti Badan Informasi Geospasial (BIG), BRIN, dan Tim Verifikasi Data Spasial independen.

Lalu akademisi dari perguruan tinggi yang memiliki spesialisasi dalam hukum tata negara, sejarah lokal, resolusi konflik, antropologi budaya, dan kajian batas wilayah.

Kemudian Komnas HAM dan Ombudsman RI sebagai pengawas keadilan dan akuntabilitas publik. Lalu perwakilan Komisi II DPR RI dan anggota DPD RI dari Aceh dan Sumut.

"Fasilitator independen dari lembaga masyarakat sipil kredibel seperti Wahid Foundation, AMAN, atau pusat studi perdamaian dari universitas-universitas besar," kata dia.

“Forum ini bisa menjadi preseden nasional jika berhasil. Ini bukan hanya tentang Aceh dan Sumut, tetapi tentang bagaimana Indonesia menyelesaikan konflik wilayah secara bermartabat,” sambungnya.

Haidar Alwi mengingatkan, jika penyelesaian tetap hanya mengandalkan jalur formalistik, maka ada tiga potensi krisis yang bisa terjadi. Pertama penolakan administratif dari masyarakat dalam bentuk gugatan hukum dan aksi protes.

Kedua perlawanan sosial budaya, di mana masyarakat tetap memegang klaim adat dan sejarah lisan yang berbeda dengan keputusan negara. Ketiga eksploitasi politik, yang bisa memanfaatkan isu ini untuk membakar emosi sektarian atau kepentingan sempit elektoral.

“Kita tidak sedang menata angka statistik. Kita sedang mengelola emosi sejarah,” katanya.

Lebih jauh Haidar mengajak semua pihak untuk mendorong pendekatan baru dalam penyelesaian sengketa empat pulau. Pasalnya, keadilan bukan hanya hasil akhir, tetapi juga cara negara mendengarkan sebelum memutuskan.

“Kini saatnya masyarakat sipil dan tokoh adat turut menyuarakan pentingnya penyelesaian damai berbasis sejarah dan keadilan. Negara harus hadir, bukan hanya menetapkan, tapi merangkul dan menyembuhkan. Pulau bisa dicatat ulang, tapi rasa keadilan harus dibangun bersama," tandasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI