Pakar Harap Antisipasi Varian Covid-19 Nimbus yang Kini Tersebar di 22 Negara

Laporan: Tio Pirnando
Rabu, 11 Juni 2025 | 15:46 WIB
Prof. Tjandra Yoga Aditama. (SinPo.id/dok. Pribadi)
Prof. Tjandra Yoga Aditama. (SinPo.id/dok. Pribadi)

SinPo.id - Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama menjelaskan terkait fakta varian baru Covid-19 dengan nama NB.1.8.1 atau varian Nimbus, yang kini tengah menjadi perhatian global.

"Laporan Disease Outbreak News WHO terbaru menyebutkan bahwa mulai pertengahan April 2025 maka sirkulasi varian LP.8.1 mulai berkurang dan varian baru NB.1.8.1 mulai meningkat, dan kini mendapat perhatian penting dunia dan diberi nama varian Nimbus," kata Prof Tjandra dalam keterangannya, Rabu, 11 Juni 2025. 

Direktur Pascasarjana Universitas YARSI ini melanjutkan, karena perkembangannya  maka WHO lalu memasukkan varian Nimbus NB.1.8.1 sebagai variant under monitoring (VUM). 

"Kita ingat waktu Covid-19 sedang tinggi-tingginya, maka WHO menetapkan tiga klasifikasi varian ini, yang paling berat adalah 'variants of concern (VOC)' seperti Delta dan lain-lain, lalu ada 'variants of interest (VOI)' dan 'variants under monitoring (VUM)'. Ketika itu situasi amat dinamis, yang VUM bisa berubah menjadi VOI dan yang VOI bisa berubah menjadi VOC, dan demikian juga sebaliknya," kata Tjandra. 

Menurut Tjandra, secara genomik varian Nimbus ini berhubungan dengan XDV.1.5.1 dan kemudian dengan varian JN.1. Apabila dibandingkan dengan varian dominan lainnya yaitu  LP.8.1, maka varian Nimbus NB.1.8.1 mempunyai berbagai mutasi "spike" pada T22N, F59S, G184S, A435S, V445H, dan T478I. 

Adapun mutasi "spike" pada posisi 445, menunjukkan peningkatan keterikatan (enhance binding affinity) terhadap reseptor hACE2. Hal ini yang menyebabkan varian tersebut menjadi lebih mudah menular. 

"Yang bukan tidak mungkin terkait dengan peningkatan kasus di beberapa negara sekarang ini," ucapnya. 

Berikutnya, dampak lain mutasi varian Nimbus pada posisi 435, juga mengakibatkan penurunan potensi netralisasi antibodi. Sementara mutasi pada posisi 478 menunjukkan evasi antibodi pula.

Hingga 18 Mei 2025, kata Tjandra, sudah ada 518 sekuen NB.1.8.1 yang dilaporkan oleh 22 negara ke Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data (GISAID). Dimana, menujukan 10,7 persen data global pada pekan epidemiologi (epidemiological week /EW) ke 17 tahun 2025 (21- 27 April 2025). 

"Walaupun angka persentase ini nampaknya masih kecil, tetapi ini jauh meningkat dari angka empat minggu sebelumnya (31 Maret sampai 6 April 2025) yang masih 2,5 persen," paparnya. 

Dia mengingatkan bahwa peningkatan ini terjadi di Asia, Eropa dan Amerika. Karena itu, ia menyarankan agar Indonesia juga melakukan surveilan genomik yang lebih giat lagi, untuk melihat perkembangan varian Nimbus ini. 

Salah satu rekomendasi yang perlu dipertimbangkan adalah dengan meningkatkan jumlah tes. Misalnya, diberlakukan kebijakan test Covid-19 untuk semua kasus Severe Acute Respiratory Illness (SARI) yang di rawat di rumah sakit  dan juga 5 persen  kasus Influenza-Like Illness (ILI). 

Kemudian, semua hasil positif Covid-19 pada kasus SARI lalu dikirimkan untuk pemeriksaan Whole Genome Sequencing di laboratorium rujukan Indonesia.

Di laman World Healthy Network, tutur Tjandra, menyampaikan empat hal tentang varian Nimbus. Pertama, varian ini memang tampak lebih mudah menular daripada varian sebelumnya. Ke dua, gejalanya dapat berupa nyeri tenggorok yang berat yang disebut seperti di sayat silet (razor-blade), lemah, batuk ringan, demam serta nyeri otot. 

"Ke tiga, tentang berat ringannya penyakit, maka masih harus menunggu beberapa minggu ke depan untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Ke empat, munculnya varian Nimbus di musim panas sekarang ini menunjukkan bahwa Covid-19 memang bukan hanya terjadi di musim yang cuacanya sedang dingin, " tukas Adjunct Professor Griffith University itu. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI