Kemenperin Sebut PMI Manufaktur Indonesia Anjlok karena Tarif Trump

Laporan: Tio Pirnando
Jumat, 02 Mei 2025 | 20:44 WIB
Juru bicara Kementerian Perindustrian RI Febri Hendri Antoni Arif. (SinPo.id/dok. Kemenperin)
Juru bicara Kementerian Perindustrian RI Febri Hendri Antoni Arif. (SinPo.id/dok. Kemenperin)

SinPo.id - Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, dinamika tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, dan banjir produk impor yang masuk ke tanah air, menyebabkan industri manufaktur dalam negeri mengalami pukulan berat. Berdasarkan laporan S&P Global,  Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025, merosot di level 46,7 atau berada di fase kontraksi di bawah poin 50.

"Kalau kita lihat, penurunannya sangat signifikan hingga 5,7 poin dibanding capaian PMI manufaktur kita pada bulan Maret lalu yang masih berada di tingkat ekspansif sebesar 52,4. Ini sekaligus menandakan bahwa optimisme atau kepercayaan diri dari para pelaku industri manufaktur di dalam negeri semakin menurun di tengah situasi uncertainty saat ini," kata Febri dalam keterangannya, Jumat, 2 Mei 2025. 
 
Febri menjelaskan, survei PMI manufaktur merupakan survey persepsi terhadap pelaku industri yang menunjukkan tingkat keyakinan (optimis atau pesimis) pelaku industri manufaktur menjalankan usahanya saat ini. 

"Artinya, dari hasil survei tersebut, ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha mengadapi perang tarif global dan banjir produk impor pada pasar domestik," terangnya.

Perlambatan PMI Manufaktur Indonesia tersebut, sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan April 2025 yang tercatat berdada di level 51,90. Meskipun masih di dalam fase ekspansi, namun lajunya mengalami perlambatan dibandingkan bulan Maret 2025 yang sebesar 52,98 atau menurun sebesar 1,08 poin. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai IKI April 2025 juga mengalami koreksi sebesar 0,40 poin.

Menurut Febri, sejumlah pelaku industri manufaktur di Indonesia masih menunggu kepastian dari hasil negosiasi perwakilan Pemerintah Indonesia yang telah menemui pihak AS.

Sebab, dengan adanya kepastian hukum melalui kebijakan dari pemerintah, pelaku industri akan dapat percaya diri untuk menjalankan usahanya sehingga tidak dalam kondisi wait and see seperti saat ini.

"Pelaku industri kita bukan hanya saja khawatir karena adanya pemberlakuan tarif resiprokal oleh Presiden Trump, tetapi mereka lebih khawatir terhadap serangan produk-produk dari sejumlah negara yang terdampak tarif Trump tersebut. Karena bisa menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif sehingga kita akan mendapat limpahan atau muntahan barang-barang impor itu," paparnya.

Febri juga mengemukakan, sudah banyak pelaku industri atau asosiasi yang bersuara  atau juga telah melaporkan berbagai keluhannya ke Kemenperin atas kondisi ketidakpastiaan saat ini. 

"Mereka menunggu kebijakan-kebijakan strategis dari pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri untuk bisa berdaya saing di pasar domestik atau menjadi tuan rumah di negara sendiri," ungkapnya.

Febri menambahkan, penurunan PMI manufaktur Indonesia paling dalam dibandingkan negara-negara peers. Di ASEAN misalnya, PMI manufaktur Filipina masih berada di fase ekspansif, karena kebijakan tarif Trump tidak terlalu memberatkan bagi mereka dibandingkan negara-negara lain. Selain itu, kebijakan perlindungan pasar dalam negeri di Filipina cukup afirmatif.

Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur yang mengalami kontraksi pada April 2025, antara lain Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8), Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44,0). Meskipun PMI manufaktur China berada di fase ekspansi (50,4), tetapi mengalami perlambatan dibanding bulan sebelumnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI