Ekonom: Penundaan Tarif Trump Bertujuan Buka Ruang Negosiasi Dagang

Laporan: Tio Pirnando
Sabtu, 12 April 2025 | 17:24 WIB
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (SinPo.id/AFP)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (SinPo.id/AFP)

SinPo.id - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menduga, alasan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunda penerapan tarif resiprokal, kecuali China, karena ingin memberi kesempatan kepada negara mitra dagang, untuk melakukan negosiasi. Trump juga diduga ingin menjaga inflasi AS. 

"Penundaan masa berlaku tarif resiprokal tersebut untuk memberi kesempatan kepada setiap negara agar bisa melakukan negosiasi dan kompromi, dengan sasaran agar defisit neraca perdagangan antar Amerika dan negara mitra dagang dapat diperbaiki (dikurangi)," kata Anthony kepada wartawan, Sabtu, 12 April 2025. 

Anthony menerangkan, untuk sementara ini, semua negara dikenakan tarif impor (dasar) sebesar 10 persen. Tarif impor resiprokal yang besarnya berbeda-beda kepada setiap negara ditunda, maka berlakunya selama 90 hari.

Anthony menilai, dengan tingkat tarif impor yang besarnya sama untuk setiap negara, untuk semua produk, maka tidak ada dampak sama sekali terhadap persaingan usaha antar negara.

Sebaliknya, pengenaan tarif impor dasar ini harus ditanggung importir dan konsumen dalam negeri AS, harga produk akan menjadi lebih mahal, serta memicu inflasi. 

Salah satu tujuan utama mengenakan tarif impor seharusnya untuk melindungi produk (industri) dalam negeri dari produk asing, khususnya akibat praktek persaingan yang tidak sehat (tidak fair). Misalnya, negara asing memberi subsidi terselubung kepada produk atau industri tertentu, atau melakukan "manipulasi" nilai tukar.

"Beberapa produk tertentu yang diimpor dari Indonesia, seperti tekstil, tidak bersaing dengan industri dalam negeri Amerika, karena produk tersebut sudah tidak diproduksi lagi di dalam negeri Amerika, serta tidak ada produk substitusi nya," ujarnya.

Dalam hal ini, lanjut Anthony, instrumen tarif impor yang tujuan awalnya untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, menjadi tidak berguna alias mubazir. Padahal, salah satu tujuan utama dari kebijakan tarif impor Trump adalah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS. 

Artinya, dengan dikenakannya tarif resiprokal, maka diharapkan impor akan berkurang, dan industri dalam negeri bisa bersaing dan bisa bangkit kembali. Ini yang menjadi dasar semboyan "Make America Great Again", membangkitkan industri dalam negeri. 

Tetapi, untuk produk yang tidak diproduksi lagi di dalam negeri AS, tarif impor menjadi tidak berguna. Hal ini juga tidak dapat  mengurangi defisit neraca perdagangan AS.

"Penundaan tarif impor Trump hanya berlaku untuk tarif resiprokal di mana Indonesia dikenakan 32 persen, selama 90 hari," tukasnya. 

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan penundaan selama 90 hari atau 3 bulan pemberlakuan tarif impor resiprokal kepada berbagai negara, termasuk Indonesia yang sebelumnya dikenai 32 persen. Negara mitra dagang  yang terdampak akan kembali diberlakukan tarif universal sebesar 10 persen.

"Berdasarkan fakta bahwa lebih dari 75 negara telah memanggil perwakilan AS, termasuk Departemen Perdagangan, Keuangan, dan USTR, untuk merundingkan solusi bagi subjek yang sedang dibahas terkait perdagangan, hambatan perdagangan, tarif, manipulasi mata uang, dan tarif non-moneter, dan bahwa atas saran saya, negara-negara ini tidak membalas dengan cara, bentuk, atau wujud apa pun terhadap AS," kata Trump dalam unggahan di Truth Social, Rabu, 9 April 2025.

Namun, penundaan tarif selama 90 hari tersebut tidak berlaku untuk China. Trump bahkan menaikkan tarif impor terhadap China menjadi 125 persen, menyusul tindakan balasan Beijing yang mengenakan tarif 84 persen terhadap produk AS.

"Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan Tiongkok kepada pasar dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dibebankan kepada Tiongkok oleh AS menjadi 125 persen, berlaku segera," kata Trump. 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI