Antisipasi Dampak Tarif AS, Pemerintah Diminta Perketat Regulasi Impor Baja

Laporan: Tio Pirnando
Jumat, 04 April 2025 | 14:52 WIB
Presiden AS Donald Trump (SinPo.idS/getty image)
Presiden AS Donald Trump (SinPo.idS/getty image)

SinPo.id - Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Budi Heru Santoso, menyarankan pemerintah untuk memperketat kebijakan pengawasan impor baja dan aluminium, sebagai respons terhadap pengumuman Presiden Amerika Serikat Donald Trump tentang tarif timbal balik (resiprocal tariff).

"Pemerintah perlu perketat pengawasan impor baja dan aluminium melalui revisi Permendag 8/2024 untuk mencegah praktik dumping yang bisa merugikan industri nasional," kata Budi kepada wartawan, Jumat, 4 April 2025. 

Menurut Budi, tak kalah penting bagi bagi pemerintah yaitu menyusun langkah antisipatif dalam menghadapi tarif timbal balik Trump. Apalagi, barang-barang Indonesia ke AS juga akan dikenakan tarif sebesar 32 persen. 

Karena, kebijakan Trump itu berpotensi menekan daya saing industri baja dan aluminium Indonesia serta berdampak luas pada ekonomi nasional.

"Meskipun AS bukan pasar utama Inalum, tetapi tarif tambahan akan memperketat akses ekspor Indonesia. Jika Indonesia termasuk dalam daftar negara yang dikenakan tarif 32 persen, produk baja Indonesia akan kehilangan daya saing di AS," paparnya. 

Ia menerangkan, China yang terkena tarif tinggi AS (34 persen) kemungkinan akan mengalihkan ekspornya ke Indonesia. Hal ini menyebabkan over-supply dan dumping. 

"Ini juga dapat menekan harga di pasar domestik dan melemahkan daya saing industri baja dan aluminium dalam negeri," terang Budi. 

Peneliti BRIN ini mengingatkan harga baja dan aluminium impor yang lebih murah dapat mengancam industri lokal seperti Krakatau Steel dan Inalum. Jika ekspor menurun dan pasar domestik dibanjiri produk murah, industri nasional berisiko mengurangi produksi dan tenaga kerja.

Untuk itu, dia mengingatkan akan ketidakpastian akibat kebijakan ini dapat membuat investor asing menarik investasi mereka dari Indonesia, terutama di sektor industri berbasis ekspor.

"Jika ekspor baja dan aluminium Indonesia tertekan dan defisit perdagangan meningkat, tekanan terhadap nilai tukar Rupiah terhadap USD bisa semakin besar," tuntas Budi. 

BERITALAINNYA