Sabtu, 15 Maret 2025
JADWAL SALAT & IMSAKIAH
Imsak
04:30
Subuh
04:40
Zuhur
12:02
Ashar
15:11
Magrib
18:06
Isya
19:15

IYCTC Soroti Ketimpangan Gender: Rokok Perburuk Kesejahteraan Perempuan di Indonesia

Laporan: Tim Redaksi
Selasa, 11 Maret 2025 | 03:35 WIB
Rokok
Rokok

SinPo.id -  Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyoroti dampak industri rokok terhadap kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan perempuan. Dengan tema “For ALL Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment”, IYCTC menegaskan bahwa perempuan masih menjadi kelompok rentan yang terdampak industri tembakau.

Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC, mengungkapkan bahwa perempuan sering kali tidak menyadari bahaya besar yang mereka hadapi akibat rokok.

"Satu dari dua laki-laki di Indonesia adalah perokok aktif, yang berarti perempuan, anak-anak, dan lansia berisiko tinggi menjadi perokok pasif dan mengalami dampak kesehatan serius," jelas Shella.

Bahkan, data menunjukkan bahwa dari 8 juta kematian akibat rokok, 1,2 juta di antaranya adalah perokok pasif. Selain itu, perempuan juga kerap menjadi bagian dari strategi pemasaran industri rokok, baik sebagai Sales Promotion Girl (SPG) maupun dalam iklan yang mengasosiasikan rokok dengan kebebasan perempuan.

"Narasi bahwa merokok adalah simbol kebebasan perempuan itu menyesatkan. Justru, industri rokok masih menjadikan perempuan sebagai objek pemasaran dan bukan sebagai agen perubahan," tegas Shella.

Selain dampak kesehatan, industri rokok juga memperburuk kondisi ekonomi perempuan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk rokok menempati peringkat kedua setelah beras, terutama di kelompok ekonomi bawah.

"Studi PKJS-UI menunjukkan pergeseran prioritas belanja di rumah tangga, di mana rokok lebih diutamakan dibanding kebutuhan pokok. Ini memperburuk kesejahteraan perempuan karena mengurangi akses terhadap makanan bergizi, pendidikan anak, dan kesehatan," tambah Shella.

Di sektor tenaga kerja, perempuan yang bekerja di industri rokok sering kali mengalami upah rendah, tanpa perlindungan kesehatan, dan rentan terhadap kekerasan seksual.

"Perempuan masih dianggap tidak kompeten dalam pengambilan keputusan, sehingga sering ditempatkan di posisi non-strategis tanpa perlindungan yang layak," jelas Shella.

Minimnya Keterwakilan Perempuan dalam Kebijakan Publik

Isranalita Madelif Sihombing, Campaign and Creative Lead IYCTC, menyoroti rendahnya representasi perempuan dalam kebijakan publik sebagai bukti bahwa dunia politik masih didominasi laki-laki.

"Minimnya perempuan di kursi kebijakan membuat isu yang berdampak pada perempuan kurang diperhatikan. Bukan hanya jumlah perempuan di posisi strategis yang penting, tapi juga mindset dan arah kebijakan yang benar-benar berpihak pada mereka," ujar Nalita.

Ia menegaskan bahwa kebijakan harus mengakomodasi perlindungan hak perempuan, termasuk dalam implementasi PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

"Perempuan harus menjadi bagian dari aktor perubahan, bukan hanya sebagai objek kebijakan," tutupnya.

BERITALAINNYA