Anggota Komisi II DPR Soroti PSU Pilkada di 24 Daerah
SinPo.id - Anggota Komisi II DPR RI, Edi Oloan Pasaribu, menyoroti berbagai persoalan terkait Pemungutan Suara Ulang (PSU) pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mempertanyakan ketidakcermatan KPU dalam memverifikasi syarat calon kepala daerah, yang menyebabkan 24 daerah harus menggelar PSU.
“Putusan MK mengharuskan PSU di 24 daerah akibat berbagai pelanggaran hukum dan administrasi. Ini menjadi pertanyaan besar, mengapa banyak persyaratan standar bisa lolos dari pengamatan KPU daerah? Seberapa kompeten penyelenggara di daerah? Dan apakah pemerintah daerah siap dengan pendanaannya untuk PSU?” ujar Edi Oloan Pasaribu usai rapat kerja Komisi II DPR RI dengan Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis 27 Februari 2025.
Pendanaan PSU Masih Jadi Masalah
Edi juga menyoroti persoalan pendanaan PSU, terutama di tengah upaya pemerintah melakukan penghematan anggaran. Ia menegaskan bahwa meskipun putusan MK harus dijalankan, pemerintah tetap harus memastikan ketersediaan anggaran.
Komisi II DPR RI meminta pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), untuk mengusulkan pendanaan PSU kepada Menteri Keuangan RI, mengingat masih ada kekurangan anggaran PSU di 26 daerah dalam APBD Tahun Anggaran 2025.
"Sesuai dengan Pasal 166 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016, pendanaan pemilihan dibebankan pada APBD dan dapat didukung oleh APBN. Kami meminta laporan terkait hal ini disampaikan kepada Komisi II DPR RI paling lambat 10 hari setelah rapat kerja ini," demikian bunyi butir kesimpulan rapat.
Harapan PSU Berjalan Transparan dan Profesional
Terkait pelaksanaan PSU, Edi Oloan Pasaribu berharap proses tersebut berjalan dengan baik, transparan, dan tidak menimbulkan masalah baru yang dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap pemilu.
“Dengan pengawasan lebih ketat, saya berharap PSU dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan baru,” katanya.
Selain itu, Edi juga menyoroti putusan MK terkait kasus ijazah palsu dan periodesasi kepala daerah, yang menurutnya merupakan bentuk maladministrasi dari KPU. Ia menilai ketidakprofesionalan dan ketidakcermatan KPU telah menyebabkan kerugian materi serta berdampak negatif terhadap kredibilitas pemilu.
"Perlu ada evaluasi agresif dan radikal terhadap penyelenggara pemilu, karena ini adalah masalah serius. Saya berharap momentum ini bisa dimanfaatkan untuk menyusun Undang-Undang Pemilu yang lebih efektif dan efisien," tegasnya.

