Wamen ESDM Pastikan BBM yang Beredar Sudah Melalui Pengawasan

SinPo.id - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menegaskan, bahan bakar minyak (BBM) yang beredar di masyarakat, sudah melalui pengawasan kementeriannya.
Hal itu disampaikan Yuliot merespons isu pencampuran Pertamax dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau KKKS periode 2018 - 2023, yang kini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Kami ada mekanisme pengawasan, baik dari sisi jumlah maupun standar terhadap bahan bakar minyak yang ada di dalam negeri, baik itu Pertalite maupun Pertamax," kata Yuliot di Jakarta, Kamis, 27 Februari 2025.
Yuliot menyampaikan, pihaknya akan menghormati serta mendukung proses hukum yang sedang berjalan di Kejagung. Ke depan, Kementerian ESDM akan berusaha untuk meningkatkan pengawasan supaya di masa mendatang, tidak terjadi lagi kasus serupa.
"Kalau yang sudah berjalan, ini karena di proses hukum, kami sudah tidak bisa melakukan pengawasan lagi. Yang bisa kami lakukan adalah pengawasan ke depan. Jadi supaya tidak terjadi," kata Yuliot.
Diketahui, Kejaksaan Agung telah menetapkan empat petinggi PT Pertamina (Persero) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Para tersangka berasal dari jajaran direksi anak usaha Pertamina serta perusahaan swasta yang diduga terlibat sejak 2018- 2023.
Para tersangka yaitu Riva Siahaan sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin sebagai Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, dan Agus Purwono selaku Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Dalam pengadaan impor, Riva diduga melakukan pengadaan produk kilang dengan membeli RON 92 atau Pertamax. Padahal kenyataannya yang dibeli adalah RON 90 atau Pertalite. Lalu, dilakukan blending di depo untuk menjadi RON 92.
Sementara tersangka Yoki dalam melakukan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina International Shipping diduga sengaja melakukan mark-up sebesar 13 persen hingga 15 persen.
Hal itu menguntungkan broker. "Nah, dampak adanya impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah, harganya menjadi melangit," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar.