Sebanyak 28 Organisasi Pemuda Desak Implementasi PP 28/2024

Laporan: Tim Redaksi
Kamis, 06 Februari 2025 | 21:57 WIB
Logo IYCTC (SinPo.id/ Dok. IYCTC)
Logo IYCTC (SinPo.id/ Dok. IYCTC)

SinPo.id - Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), bersama dengan 27 organisasi kepemudaan lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia: Toco Ranger, PARTYcipation, KPK Sehat FKM Universitas Indonesia, Beyond Health Indonesia, Hima Pro Kesmas Universitas Ibn Khaldun Bogor, ISMKI, BEM Fikes Universitas Ibn Khaldun Bogor, Genita, Higeia, Kitapeka, BEM FKIK Universitas Jambi, PAMI Nasional, Kita Gerak Bareng, HAPSA FKM Universitas Indonesia, ASEAN Youth Organization, Hasanuddin Contact, PIK-R Bangka Jakarta Selatan, Kolaborasi Bumi, SemarKu, Pemuda Penggerak, Aksi Kebaikan, IPPNU, Semesta FKM Universitas Muhammadiyah Jakarta, Hima Kesmas Stikes Bhakti Husada Madiun, ISMKMI, SFA for Tobacco Control, dan Hima Kesmas Universitas Siliwangi, mendesak pemerintah untuk segera mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024. 

Menurut mereka, regulasi ini menjadi langkah krusial dalam mengendalikan konsumsi produk tembakau, yang selama ini mengancam kesehatan dan produktivitas bangsa. Surat dukungan yang telah dikirimkan ke Presiden menegaskan bahwa kaum muda tidak tinggal diam melihat regulasi ini terhambat.

Ketua IYCTC Manik Marganamahendra menyatakan harapannya kepada Presiden Prabowo untuk mengimplementasikan segera PP 28/2024, termasuk penguatan regulasi turunanya. 

“100 hari pemerintahan ini sebenarnya menjadi momentum bagi Pak Prabowo untuk membuktikan komitmennya terhadap perlindungan kesehatan masyarakat,” kata Manik dalam keterangannya, Kamis, 6 Februari 2025.

Manik menilai momentum ini ujian nyata keseriusan pemerintah dalam membangun sumber daya manusia yang unggul, apalagi jika digadang-gadang ingin mencapai visi Indonesia emas 2045. 

Faktanya, berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, menunjukkan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya adalah anak-anak dan remaja berusia 10-18 tahun. Lebih rincinya, kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok terbanyak memulai merokok (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%).

Menurutnya, hal ini tidak dapat menampik Indonesia memang masih menjadi negara dengan prevalensi perokok yang tinggi di dunia. 

Selain itu, Manik menyebut dampak ekonomi akibat konsumsi rokok juga tidak main-main. Penelitian Zanfina (2020) mengungkapkan bahwa total biaya kehilangan produktivitas akibat merokok mencapai Rp 2.755,5 triliun, nyaris setara dengan APBN Indonesia. 

Dalam skala tahunan, Indonesia mengalami kerugian PDB sebesar Rp 153 triliun akibat rokok. Studi Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2022 pun juga mengungkap pengguna rokok elektronik meningkat 10 kali lipat dalam satu dekade terakhir, dari 0,3% (2011) menjadi 3,0% (2021), menandakan industri masih terus menargetkan anak muda dengan produk alternatif yang tak kalah berbahaya. 

Dalam kampanyenya, Presiden Prabowo menekankan pentingnya investasi dalam kesehatan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun, menurut Manik, janji ini tidak akan terwujud tanpa langkah konkret dalam penegakan regulasi seperti PP 28/2024 tentang kesehatan. 

“Jika tidak, janji tersebut berisiko menjadi sekadar retorika, atau hanya tertulis diatas kertas,” tegasnya. 

Program Manager IYCTC, Ni Made Shellasih menambahkan tanpa implementasi regulasi ini, Indonesia akan kehilangan momentum untuk menyelamatkan generasi muda dari cengkeraman industri rokok. 

“Setidaknya, kebijakan kenaikan cukai rokok, pelarangan total iklan rokok di media berbasis digital, serta perlindungan ruang publik dari paparan asap rokok ini jangan sampai mandek,” kata Shella.

Namun kenyataannya, kata Made, Pemerintah baru saja mengumumkan cukai hasil tembakau (CHT) tidak akan naik pada 2025. Sementara harga jual eceran (HJE) justru meningkat. 

Menurut Shella, kebijakan ini jelas hanya menguntungkan industri rokok dengan tetap memberikan keleluasaan bagi mereka untuk menjual produk tembakau dengan harga yang lebih tinggi. Sementara negara kehilangan kesempatan untuk mengendalikan konsumsi melalui mekanisme fiskal yang terbukti efektif.

“Keputusan ini menunjukkan bahwa kepentingan industri masih lebih diutamakan dibandingkan perlindungan kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Padahal, perlindungan anak tidak sepatutnya dibenturkan dengan kepentingan bisnis," ujar dia. 

Shella menilai, industri rokok terus mencari celah dengan kampanye promosi agresif, harga murah, dan strategi pemasaran terselubung untuk menjaring konsumen baru. Hal ini berimplikasi langsung pada masa depan bangsa jika implementasi PP 28/2024 tidak segera ditegakkan.

IYCTC menegaskan, anak muda Indonesia harus berani untuk menolak menjadi target industri yang mengorbankan kesehatan demi keuntungan. Dengan momentum 100 hari pemerintahan, bola keputusan kini berada di tangan Presiden Prabowo. 

"Keputusan ini harus segera ditindaklanjuti dengan adanya keberpihakan pada masa depan bangsa," pungkasnya.