Masuk 'Geng' BRICS, Indonesia Didorong Tak Hanya Perkuat Hubungan dengan China
SinPo.id - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berharap, dengan menjadi anggota penuh BRICS, Indonesia tak hanya fokus memperkuat hubungan dengan China saja, tapi juga Brasil, Afrika Selatan, termasuk negara di Timur Tengah. Karena, ada potensi besar dengan Brasil terkait ekonomi restoratif, hingga Afrika Selatan soal pengembangan transisi energi bersih.
"Jika terlalu pro-China, maka keanggotaan Indonesia di BRICS sebenarnya sia-sia, mereplikasi hubungan ekonomi dengan China yang sudah terlalu dominan," kata Bhima dalam keterangannya, Rabu, 8 Januari 2025.
Adapun keberadaan BRICS dinilai akan menjadi penyeimbang G7 yang beranggotakan Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang.
Sebagai anggota grup BRICS yang baru, Indonesia berpeluang untuk berpartisipasi dalam solidaritas negara-negara Selatan atau global South dalam mengurangi hegemoni Barat.
Namun demikian, Bhima memperkirakan, aliansi BRICS sebenarnya tidak begitu memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Alasannya, ekonomi China diproyeksikan akan melambat, terutama pascakembali terpilihnya Donald Trump yang memicu proteksionisme dagang. Ditambah, kekhawatiran ketergantungan yang semakin kuat pada China masih menghantui Indonesia.
Sementara itu, Direktur China-Indonesia Desk Celios Muhammad Zulfikar Rakhmat menilai, tantangan ke depan bagi negara anggota BRICS, termasuk Indonesia di pasar global, adalah Donald Trump. Sebab, Trump diduga akan melakukan ancaman pada negara anggota BRICS apabila melakukan dedolarisasi.
"Reaksi Trump perlu untuk diwaspadai, karena dia merupakan salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika, AS memberlakukan tarif 100 persen pada negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena imbas dari kebijakan tersebut, tidak bisa dipungkiri ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka waktu pendek atau menengah. Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS," kata Zulfikar.
Senada, Peneliti Celios Yeta Purnama, mendorong Indonesia lebih gencar mendiversifikasi mitra secara bilateral untuk bertahan dari ketidakpastian ekonomi global di masa datang.
"Potensi kerja sama multilateral tentu akan menguntungkan tapi jika itu di circle yang sama, ketika ekonomi negara anggota yang mendominasi seperti China melemah, maka akan rentan berdampak pada stabilitas ekonomi di dalam negeri," kata Yeta.
Celios lantas memberikan catatan penting untuk Indonesia. Bergabung dengan BRICS bisa dikatakan berisiko terutama jika terlalu fokus pada China.
Untuk menghindari risiko itu, Indonesia perlu memainkan peran dalam mendorong kolaborasi di sektor-sektor strategis seperti sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang menyasar kebutuhan negara-negara berkembang, dan mengarahkan investasi kepada proyek yang bisa memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota.
Selaras dengan hal tersebut, Indonesia perlu memainkan peran untuk mendorong kerja sama investasi hijau (green invesment) negara anggota dengan mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan.
"Jika berbicara global South, sebetulnya urgensi utama yang tidak bisa diabaikan adalah dominasi investasi sektor ekstraktif. Jadi BRICS diharapkan juga menyoroti potensi kerja sama green investment untuk green growth dalam beberapa tahun mendatang," kata Yeta.