Kemenlu: Banyak WNI Tak Sadar Jadi Korban TPPO
SinPo.id - Kasus penipuan online yang melibatkan tindak kejahatan perdagangan orang terus meningkat tajam. Data terbaru mengungkap lonjakan signifikan dalam jumlah kasus, mencerminkan tantangan besar dalam menanggulangi kejahatan transnasional.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan kasus pertama yang tercatat pada tahun 2020 hanya sebanyak 15 kasus. Namun, jumlah tersebut melonjak drastis menjadi 5.111 kasus pada tahun 2024.
Negara-negara seperti Kamboja, Myanmar, Laos, dan Filipina kini menjadi lokasi utama dari kejahatan ini, yang melibatkan berbagai skema seperti judi online dan penipuan online.
Fenomena ini semakin mengkhawatirkan karena aktivitas-aktivitas tersebut mulai dianggap normal dan bahkan menjadi sumber mata pencarian bagi sebagian masyarakat.
“Saat ini kami melihat ada semacam normalisasi, judi online dan online scam menjadi bentuk mata pencaharian baru. Ada WNI yang secara sadar ingin bekerja di sektor itu, karena gaji tinggi. Jadi, tidak ada unsur TPPO-nya (Tindak Pidana Perdagangan Orang),” kata Judha, dalam diskusi bertajuk 'Korupsi dan Kejahatan Siber: Membedah Skema Penipuan dan Judi Online', di kantor AJI Indonesia, Jakarta.
Judha menerangkan, dari 5.111 kasus yang terdeteksi, hanya 1.290 kasus dinyatakan sebagai TPPO. Korban mayoritasnya berasal dari daerah seperti Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.
Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Danang Tri Hartono menyebutkan, perputaran transaksi terkait judi online menunjukkan tren lonjakan tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Data PPATK menyebutkan pada 2021, transaksi judi online mencapai Rp57,91 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp104,42 triliun pada 2022. Pada 2023, nilainya melonjak lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp327,05 triliun, dan hanya dalam semester pertama 2024, angkanya sudah mencapai Rp174,56 triliun.
Lonjakan ini memperlihatkan skala kejahatan yang semakin meluas, didukung oleh metode pencucian uang yang semakin kompleks. Dana-dana hasil transaksi ini sering kali dicuci melalui skema seperti money changer dan cryptocurrency, mempersulit deteksi oleh otoritas, lanjut Danang.
“Jadi memang sekarang crypto bukan hanya untuk trading, tetapi juga memfasilitasi transaksi termasuk perjudian online,” katanya dalam diskusi yang sama.
Selain itu, PPATK juga mengidentifikasi jumlah pemain judi online di Indonesia juga meningkat tajam, dari 3,4 juta pada 2023 menjadi 8,8 juta pada 2024, dengan modus yang melibatkan penyalahgunaan rekening.
“Deposit menggunakan akses rekening, ketika diperiksa, ternyata rekening (atas nama seseorang) ternyata sudah dijual ke orang-orangnya bandar. Artinya, ada orang yang spesialisasi mencari nomor rekening untuk dipakai deposit. Yang mengoleksi [rekening] bisa dipidanakan, tetapi yang menjual ini bagaimana? Apalagi kebanyakan yang menjual masyarakat kelas ekonomi lemah,” kata Danang.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyoroti bagaimana korupsi di institusi penegak hukum turut memperburuk situasi. Aparat negara, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas kejahatan ini, kerap ditemukan terlibat atau mendukung praktik ilegal tersebut. Hal ini tidak hanya melemahkan penegakan hukum, tetapi juga memperkuat jaringan kejahatan yang ada.
Dimensi sosial dari perdagangan orang juga semakin kompleks. Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah memperburuk situasi ini, menciptakan peluang bagi sindikat untuk memperluas operasi mereka. Korban tidak lagi hanya berasal dari kelompok ekonomi lemah, tetapi juga mencakup kaum muda dan lulusan perguruan tinggi.
Wahyu melihat kawasan Asia Tenggara sebagai area yang paling banyak ditemukan tindak pidana kejahatan ini. Semisalnya Myanmar, dengan situasi konfliknya, justru menjadi lokasi strategis bagi sindikat untuk mendirikan kamp-kamp penipuan online yang dikelola secara sistematis.
“Pemerintah Myanmar juga punya keterlibatan dalam bisnis haram ini. Ini juga mengkonfirmasi bahwa kinerja buruk dan korupsi juga menyuburkan praktik perdagangan orang,” kata Wahyu.
Dalam konteks ini, jurnalis memiliki peran penting untuk mengungkap fakta dan memberi suara kepada korban.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, menggarisbawahi pentingnya liputan mendalam terhadap isu ini. Namun, ia juga mengingatkan bahwa jurnalis menghadapi risiko intimidasi dan kekerasan selama peliputan, sehingga kolaborasi antar-jurnalis menjadi kunci untuk mengatasi tantangan tersebut.
Masalah ini tidak bisa diatasi secara parsial. Pemerintah perlu segera memperketat pengawasan terhadap platform judi online, memperbaiki sistem penegakan hukum yang sering kali dirusak oleh intervensi koruptif, serta meningkatkan perlindungan bagi korban perdagangan orang melalui pendampingan hukum dan psikologis. Kerja sama internasional juga sangat dibutuhkan untuk membongkar jaringan kejahatan transnasional ini.
Hanya dengan upaya kolektif dari pemerintah, masyarakat sipil, media, dan sektor swasta, keamanan digital nasional dapat diperkuat, dan WNI terlindungi dari ancaman kejahatan yang terus berkembang.