IYSTC dan CISDI Tuntut Pemerintah Tegas Mengatasi Masalah Perokok Anak
SinPo.id - Ketua Umum Indonesian Youth Summit on Tobacco Control (IYSTC) Manik Marganamahendra, menyoroti tingginya prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang mencapai 7,4 persen . Jumlah tersebut setara dengan enam juta anak,
“Fakta ini memperparah isu pembangunan seperti stunting, pengeluaran rumah tangga tidak sehat, dan kemiskinan struktural. Forum ini, orang muda ingin menunjukkan bahwa mereka bukan hanya sekadar objek kebijakan, tetapi subjek perubahan yang mampu memberikan solusi konkret,” kata Manik dalam keterangannya, Rabu, 4 Desember 2024.
IYSTC juga menyoroti hasil Pemilu dan hasil sementara Pilkada 2024 melalui pemetaan sikap di situs www.pilihantanpabeban.id. IYSTC menemukan jumlah politisi dan pemangku kebijakan yang terpilih saat ini hanya sedikit yang pro pengendalian rokok.
"Termasuk mereka yang mendukung PP nomor 28 tahun 2024 tentang Kesehatan. Justru lebih dari 100 pemangku kebijakan secara terbuka memihak industri rokok dan sebagian diantaranya terafiliasi punya konflik kepentingan dengan industri rokok.” kata dia.
Founder and CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih menggambarkan peran penting anak muda dalam pengendalian konsumsi rokok. Menurutnya, kehadiran anak muda merupakan pendorong utama lahirnya kebijakan pengendalian konsumsi rokok.
"Dari sisi fiskal maupun non-fiskal kita perlu banyak berbenah untuk meningkatkan upaya pengendalian konsumsi rokok. Oleh karena itu, upaya menaikkan cukai rokok dan menyederhanakan golongan tarif cukai menjadi sangat dibutuhkan,” kata Diah.
Hasil reses DPRemaja menggambarkan berbagai tantangan nyata yang dihadapi masyarakat di berbagai daerah. Warung rokok masih menjamur di sekitar sekolah, mempermudah akses anak-anak terhadap rokok. Ruang publik, seperti taman kota dan fasilitas olahraga, yang seharusnya menjadi tempat sehat untuk warga, justru menjadi titik kumpul aktivitas merokok.
Tidak hanya itu, kebiasaan merokok di rumah kerap menjadikan anak-anak perokok pasif, menciptakan ancaman serius bagi kesehatan mereka, seperti stunting dan gangguan pernapasan kronis. Budaya lokal juga sering kali digunakan sebagai kedok untuk mempromosikan konsumsi rokok, bahkan di acara adat atau keagamaan.
Salah satu anggota DPRemaja dari Lampung mengungkap fakta, jika puntung rokok menjadi salah satu sampah terbanyak di kawasan olahraga, mencemari lingkungan dan merusak ruang publik. Adapun, anggota DPRemaja lainnya dari Jawa Tengah yang menunjukkan keberhasilan pada program diversifikasi tanaman non-tembakau untuk para petani lokal sebagai upaya untuk membuka peluang baru di sektor pertanian yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Temuan dari para anggota DPRemaja tersebut juga turut disampaikan kepada pemangku kebijakan di daerahnya melalui kampanye publik hingga audiensi secara langsung, baik kepada pejabat daerah setempat maupun calon Gubernur atau Calon Wali Kota di masing-masing wilayah reses mereka.
Harapannya, terdapat perubahan kebijakan pengendalian rokok yang lebih kuat hingga ke level daerah. Hal ini pun dituangkan dalam buku rekomendasi kebijakan yang disampaikan dalam acara tersebut.
Perwakilan Stravenues, Pradamas Gifarry menyoroti lemahnya penegakan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Ditegaskannya, banyak fasilitas umum seperti taman dan halte masih menjadi ruang abu-abu bagi perokok.
"Pengawasan lebih ketat sangat diperlukan untuk memastikan ruang publik yang ramah anak dan bebas rokok,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Heryawan mengungkapkan, tingginya prevalensi perokok muda di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Dia menyampaikan, rokok telah menjadi komoditi terbesar kedua setelah beras pada masyarakat kelas ekonomi kecil.
"Masalah ini harus segera diatasi dan beriringan dengan aspek monitoring dan evaluasi,” kata Netty.
Dukungan serupa disampaikan Direktur P2PTM, Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menggarisbawahi pentingnya fokus pada pencegahan anak-anak merokok. Pasalnya berdasarkan data yang ada, para perokok memulai kebiasaan ini di 15-19 tahun.
"Masalah lainnya, permasalahan tingginya angka stunting juga disebabkan karena perilaku merokok. Anak dari orang tua perokok memiliki risiko 5,5 persen lebih tinggi terindikasi stunting dibanding anak dari orang tua bukan perokok. Maka itu jika ingin menurunkan angka kejadian stunting, kita harus mengendalikan faktor penyebabnya dulu, salah satunya merokok,” jelas Nadia.