PEMERATAAN PENDIDIKAN

Legislator PKS: Kualitas dan Pemerataan Jadi Tantangan Pendidikan Indonesia

Laporan: Juven Martua Sitompul
Jumat, 22 November 2024 | 22:58 WIB
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah (SinPo.id/ Parlementaria)
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah (SinPo.id/ Parlementaria)

SinPo.id - Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan beberapa tantangan pendidikan Tanah Air yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Salah satunya, persoalan kualitas dan pemerataan pendidikan.

Ini disampaikan Ledia, dalam webinar bertajuk 'Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional di Indonesia dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045' yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPRRI) di Jakarta, pada Kamis, 21 November 2024.

"Sarana prasarana, kualitas dan kesejahteraan guru, akses dan partisipasi pendidikan, serta manajemen dan tata kelola pendidikan," kata Ledia dalam keterangannya, Jakarta, Jumat, 22 November 2024.

Tak hanya itu, Legislator dari Fraksi PKS ini menyebut standar kurikulum belum merata di semua daerah. Kemudian, sebaran guru yang masih senjang utamanya di daerah terpencil serta kurangnya kreasi dan inovasi metode pembelajaran menjadi faktor yang harus diperhatikan dan diatasi.

"Kita berharap janganlah setiap ganti menteri ganti kurikulum. Ada perubahan metode atau pendekatan tentu wajar tapi semestinya tetap dalam satu landasan yang sama. Dan kurikulum ini meski bersifat nasional tetap perlu penyesuaian dengan kondisi lokal atau kebutuhan siswa di daerah," ucapnya.

Ledia juga mengatakan perlunya perhatian khusus pemerintah terhadap kondisi bangunan sekolah, akses, dan keterbatasan fasilitas sekolah. Termasuk, ketimpangan distribusi sarana belajar seperti laboratorium, perpustakaan, dan alat teknologi pendidikan.

"Jumlah ruang kelas rusak di seluruh pelosok negeri sangat banyak. Data BPS menunjukkan ada lebih dari 50 persen kelas rusak untuk tingkat SD dan hampir 50 persen untuk tingkat SMP. Sementara level SMA dan SMK lebih dari 30 persennya. Ini tentu peer besar bagi pemerintah," katanya.

"Bagaimana menuntaskan hal ini meski bertahap namun segera. Karena terkait dengan keselamatan dan kenyamanan belajar siswa dan guru. Kami sendiri di Komisi X berharap agar tanggungjawab anggaran perbaikan ruang kelas sekolah yang saat ini berada di pihak PUPR dikembalikan ke kementerian pendidikan," timpalnya.

Menurut Ledia, persoalan lain yang harus dipelototi ialah banyaknya guru yang belum sejahtera karena masih terdapat sistem penggajian dan tunjangan yang rendah. Utamanya, pada mereka yang berstatus guru honorer atau guru di sekolah swasta yang memiliki pemasukan terbatas.

"Kebutuhan guru di seluruh sekolah di negeri ini sangat banyak, baik di sekolah negeri maupun swasta. Karena itu kehadiran guru honorer menjadi sangat dibutuhkan. Sayangnya guru honorer sering menerima upah jauh di bawah standar hidup layak dan tidak memperoleh tunjangan atau jaminan sosial memadai," kata dia.

Ledia melanjutkan banyak guru, terutama guru honorer yang juga tidak mendapat akses pelatihan atau pendidikan yang memadai untuk peningkatan kompetensi. Sehingga, makin sulit bagi mereka untuk mendapat peningkatan kesejahteraan.

Oleh karenanya, dia menekankan diperlukan rencana yang cepat dan berkelanjutan dari pemerintah untuk bisa mengeluarkan program terkait peningkatan kesejahteraan guru.

Anggota Badan Legislasi ini menyebut faktor ekonomi seringkali menjadi hambatan siswa melanjutkan sekolah. Bahkan, mengacu data tingkat SD angka partisipasi murninya memang tergolong tinggi, yaitu 97 persen anak Indonesia bersekolah.

Namun, ternyata semakin tinggi jenjang pendidikan angkanya semakin mengecil. Contohnya, untuk level SMP hanya sekitar 81 persen dan setingkat SMA hanya sekitar 62 persen.

"Ini tantangan lain lagi, sebab banyak orangtua tidak mampu secara ekonomi untuk menyekolahkan anak ke jenjang lanjutan. Misalnya dari SD ke SMP atau SMP ke SMA. Mungkin karena lanjut sekolah artinya biaya lebih besar, atau karena anak selepas SD diharapkan membantu ekonomi orangtua," katanya.

Untuk itu, Ledia menyatakan selain perlu menambah bantuan pendidikan seperti PIP, pemerintah juga perlu membuka sekolah dengan layanan khusus, seperti sekolah terbuka atau sekolah dengan jam khusus.

"Perlu ada pemadanan regulasi dengan kondisi lapangan, juga diskusi dengan komite sekolah agar sekolah tidak lagi menjadi area yang disebut ICW sebagai lingkungan rawan korupsi, padahal ternyata karena adanya keterbatasan penggunaan anggaran yang belum berkesesuaian dengan kondisi lapangan," katanya.

Terakhir, Ledia mengingatkan pula bagaimana sinergi pemerintah pusat dan daerah yang sampai saat ini masih lemah dan harus dikuatkan. Begitu pula persoalan pemanfaatan dana alokasi khusus pendidikan yang kadang muncul tidak berkesesuaian.

"Misalnya ada kejadian, saat ada transfer ke daerah dengan judul Dana Alokasi Khusus pendidikan, tetapi yang dibuat adalah pagar sekolah atau jembatan ke menuju sekolah. Itu kan tidak tepat karena itu sesungguhnya adalah tanggung jawab pemerintah daerah dalam bidang infrastruktur. Jadi seharusnya tidak boleh mengambil dari situ. Salah," tegas Ledia.

BERITALAINNYA