TATA KELOLA SAWIT

Cegah Maladministrasi, Ombudsman Usul Bentuk Badan Khusus Urus Industri Sawit

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 18 November 2024 | 22:50 WIB
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika (SinPo.id/Dok. ORI)
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika (SinPo.id/Dok. ORI)

SinPo.id - Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk badan khusus mengurusi tata kelola hulu-hilir industri kelapa sawit, yang berada langsung dibawah Presiden Prabowo Subianto.

Karena, berdasarkan kajian Ombudsman, ditemukan berbagai permasalahan di industri sawit, baik dari aspek lahan, perizinan, hingga tata niaga yang memiliki dampak serius terhadap penerimaan negara, petani, dan pelaku usaha.

"Pemerintah harus memiliki satu badan yang mengurusi hulu hingga hilir industri kelapa sawit," ujar Yeka saat merilis laporan kajian terkait potensi maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin 18 November 2024.

Menurut Yeka, ini juga sejalan dengan kebijakan pemerintah terkait biodiesel. Dimana, pemerintah perlu menyusun skema pembiayaan yang lebih adil dengan menetapkan alokasi yang berimbang dalam pengelolaan dana yang diurus oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).

Termasuk memastikan kecukupan pembiayaan program biodiesel bersamaan dengan program pemberdayaan petani diantaranya Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). "Sehingga dapat tercipta perkebunan sawit berkelanjutan dan memperkuat keberlanjutan pembangunan sektor energi terbarukan di Indonesia," kata Yeka.

Adapun rilis Hasil Kajian Sistemik Ombudsman RI tentang Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakpastian layanan, pengabaian kewajiban hukum, tidak memberikan layanan, penyimpangan hukum dan ketidakjelasan prosedur dalam tata kelola industri kelapa sawit.

"Hasil kajian ini bermaksud untuk memberikan potret menyeluruh tentang persoalan yang masih ada dalam tata kelola sektor ini khususnya masalah layanan yang diselenggarakan negara. Kajian ini mengidentifikasi sejumlah potensi masalah yang bisa berujung pada maladministrasi," ucap Yeka.

Berdasarkan hasil penelaahan berbagai keterangan, data, informasi dan regulasi, Ombudsman RI menyimpulkan berbagai permasalahan kelapa sawit dibagi ke dalam empat aspek. Seperti aspek lahan, aspek perizinan, aspek tata niaga dan aspek kelembagaan.

Pada aspek perizinan, ditemukan adanya ketidakpastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SK Datin terhadap lahan perkebunan sawit.

Luasan lahan overlay tumpang tindih perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan seluas 3.222.350 hektar dengan subjek hukum kelapa sawit sejumlah 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi/kelompok tani perkebunan kelapa sawit.

"Ombudsman menemukan fakta di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah, bahwa banyak perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah memiliki Hak Atas Tanah (HAT), namun masih dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam memperoleh bantuan Pemerintah maupun program Peremajaan Sawit Rakya," kata Yeka.

Pada aspek perizinan, permasalahan utama tata kelola industri kelapa sawit adalah rendahnya capaian pendataan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), rendahnya capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan adanya ketidakpastian layanan Persetujuan Teknis (Pertek) Pemanfaatan Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit untuk aplikasi ke lahan disebut land application – Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LA-LCPKS).

Di aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME).

Masalah perizinan ini disebabkan kurangnya koordinasi antarkementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS, mengkibatkan tumpang tindih aturan.

Pada aspek kelembagaan, Ombudsman RI menilai bahwa tata kelola kelapa sawit diampu oleh banyak kementerian dengan kebijakan dan regulasi yang tidak terintegrasi. Hal ini menimbulkan pemasalahan implementasi di lapangan.
Menurut Yeka, tidak terintegrasinya kebijakan ini berpotensi menimbulkan maladministrasi pengabaian kewajiban hukum dan tidak memberikan layanan karena adanya benturan regulasi.

Karena itu, Ombudsman RI memberikan sejumlah saran perbaikan kepada pemerintah untuk menekankan pentingnya integrasi kebijakan lintas sektor guna mendukung pengembangan industri kelapa sawit yang berdaya saing dan berkontribusi terhadap ekonomi lanjutan.

Saran pertama, pemerintah perlu segera menyelesaikan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Dalam hal lahan perkebunan sawit rakyat telah memiliki kejelasan status HAT, maka lahan tersebut dilepaskan dari kawasan hutan.

Kedua, pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan dan menata administrasi tata kelola industri kelapa sawit. Yaitu mendorong peningkatan kinerja dalam pencapaian pendataan STDB bagi pekebun rakyat dan pemenuhan sertifikasi ISPO bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit.

Ketiga, pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan pendirian Pabrik Kelapa Sawit dan perizinan pendukung lainnya.

"Pemerintah perlu mengintegrasikan izin pendirian Pabrik Kelapa Sawit untuk diampu oleh Kementerian di bidang Perindustrian dengan rekomendasi teknis dari kementerian yang membidangi perkebunan," kata Yeka

Keempat, pemerintah perlu segera membuat kebijakan terintegrasi tata niaga hasil produksi perkebunan kelapa sawit baik di pasar nasional maupun pasar internasional. Tujuannya, untuk menjamin kepastian harga TBS di tingkat petani (plasma dan swadaya) dengan konsekuensi penerapan sanksi jika tidak dipatuhi.

Selain itu Pemerintah perlu membangun sistem pungutan yang berkeadilan pada ekspor hasil produksi kelapa sawit dan turunannya.

"Semua saran perbaikan ini hanya akan berhasil jika ada komitmen yang kuat dari semua pihak. Pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam memperbaiki sistem yang ada dan menjamin keberlanjutan perbaikan tata kelola industri kelapa sawit. Dunia usaha juga harus menunjukkan kesediaan untuk beradaptasi dengan peraturan yang ada, mengutamakan praktik bisnis yang berkelanjutan dan tidak hanya mengejar keuntungan semata," tukas Yeka.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI