Kemlu Bantah Posisi Indonesia di Laut China Selatan Berubah
SinPo.id - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyampaikan bahwa kerja sama Indonesia dan China terkait isu maritim diharapkan menjadi suatu model upaya memelihara perdamaian dan persahabatan di kawasan.
Hal ini merujuk pada joint statement antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping di Beijing pada 9 November 2024. Ada sebuah paragraf yang diduga terkait dengan klaim tumpang tindih di Laut China Selatan.
Menurut Kemlu RI, kerja sama ini sejalan dengan semangat "Declaration of the Conduct of the Parties in the South China Sea", yang disepakati negara-negara ASEAN dan China pada 2022 lalu, sebagai upaya menciptakan perdamaian di kawasan Laut China Selatan.
"Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim 9 Dash Line. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara," bunyi pernyataan Kemlu RI, dikutip pada Senin, 11 November 2024.
Kemlu menilai, kerja sama tersebut justru akan mendorong penyelesaian Code of Conduct in the South China Sea, yang dapat menciptakan stabilitas di kawasan.
Apalagi, kerja sama ini akan mencakup berbagai aspek kerja sama ekonomi, khususnya di bidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan, dengan berdasarkan kepada prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan.
Kerja sama ini juga akan dilaksanakan dalam koridor ketentuan undang-undang dan peraturan negara masing-masing.
Bagi Indonesia, tentunya kerja sama ini harus dilaksanakan berdasarkan sejumlah UU dan peraturan yang terkait, termasuk yang mengatur kewilayahan; undang-undang ratifikasi perjanjian internasional kelautan, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982; maupun ratifikasi perjanjian bilateral tentang status hukum perairan atau pun delimitasi batas maritim; peraturan tentang tata ruang laut serta konservasi dan pengelolaan perikanan, perpajakan dan berbagai ketentuan lainnya.
Selain itu, semua kewajiban internasional dan kontrak-kontrak lainnya yang dibuat Indonesia yang berkaitan dengan kawasan tersebut, tidak akan terpengaruh dan akan terus berlaku tanpa perubahan.
Sebelumnya, dalam kerja sama Indonesia-China poin 9 dengan judul "The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation" disebutkan, "The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims".
"Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim Sepuluh Garis Putus (Dashed Line) oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?" tanya guru besar hukum internasional UI Hikmahanto Juwana, dalam keterangannya.
"Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan," tambahnya.
Dengan adanya pernyataan bersama 9 November lalu, menurut Hikmahanto, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sembilan Garis Putus.
"Perlu dipahami Joint Development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih," ungkapnya.
Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, lanjutnya, jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan Indonesia, di mana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China.
Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh China.
Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan China.