Hikmahanto Pertanyakan Kebijakan ZEE Natuna Utara Sudah Berubah?

Laporan: Tio Pirnando
Senin, 11 November 2024 | 10:40 WIB
Pertemuan bilateral Presiden RI Prabowo Subianto dengan Presiden China Xi Jinping. (SinPo.id)
Pertemuan bilateral Presiden RI Prabowo Subianto dengan Presiden China Xi Jinping. (SinPo.id)

SinPo.id - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mempertanyakan pernyataan bersama (joint statement) Presiden Prabowo dengan Presiden Xi Jinping pada tanggal 9 November 2024 lalu, terkait kerja sama maritim.

Karena, dalam butir 9 berbunyi, kedua pihak akan bersama-sama menciptakan lebih banyak titik terang dalam kerja sama maritim, disebutkan bahwa kedua pihak telah mencapai pemahaman penting dalam pengembangan bersama di area-area yang terdapat klaim tumpang tindih.
 
"Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim Sepuluh Garis Putus (Dashed Line) oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?" kata Hikmahanto dalam keterangannya, Senin, 11 November 2024.

"Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan," sambungnya.

Hikmahanto menegaskan, joint development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih.

Bagi Hikmahanto, klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan Indonesia. Di mana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China.

Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara, tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh China. 

Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan China.

Selain itu, Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS di mana Indonesia dan China merupakan negara peserta. Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 telah menegaskan klaim sepihak China tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS.

Hikmahanto mengatakan, jika memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara, maka Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan DPR RI.

"Terlebih lagi bila joint development ini benar-benar direalisasikan maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar," kata dia.

Menurutnya, negara-negara yang berkonflik dengan China akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam, akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bukannya tidak mungkin memicu ketegangan di antara negara ASEAN.

"Belum lagi negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak China karena berdampak pada kebebasan pelayaran internasional seperti Amerika Serikat dan Jepang akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia. Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan," kata dia.

Bila benar joint development dengan China di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan, menurut Hikmahanto, maka yang justru mendapat keuntungan besar adalah China. 

"Bahkan China bisa mengklaim bahwa Indonesia telah jatuh di tangannya. Suatu hal yang tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR bahwa Indonesia akan tidak berada di belakang negara adidaya yang sedang berkompetisi," tukasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI