Hadapi Trump Effect, Ekonom: Perluas Pasar Ekspor dan Perbanyak Insentif Tepat Sasaran
SinPo.id - Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan sejumlah masukan untuk pemerintah Indonesia dalam rangka persiapan menghadapi kebijakan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump atau dikenal Trump Effect. Sebab, Trump memiliki ciri khas kebijakan politik dan ekonominya "Make America Great Again," yang mencerminkan fokus utama pada kebijakan proteksionisme dan perang dagang dengan negara-negara lain, khususnya China.
"Ini strategi untuk menghadapi Trump effect dampak perdagangan dan investasi itu pertama, memang harus mempercepat pembukaan wilayah-wilayah ekspor atau mitra dagang non tradisional apakah bisa di Timur Tengah, misalnya, atau di Afrika Utara," kata Bhima saat dihubungi SinPo.id pada Jumat, 8 November 2024.
Kedua, lanjut Bhima, dari sisi moeneter, pemerintah saat ini harus mempercepat menurunkan suku bunga kredit perbankan. Tujuannya supaya sektor riil domestik bisa meningkat penyaluran kredit untuk modal kerja, dan bisa membantu meningkatkan ketahanan pasar domestik.
"Kalau suku bunganya bisa lebih rendah. Jadi BI bisa pangkas 20 bps poin lagi bunga acuan," ucap dia.
Adapun ketiga, menurut Bhima, efektifkan kebijakan devisa hasil ekspor yang memang ditahan dalam jangka waktu lebih lama. Bagi Bhima, ini merupakan kebijakan sangat bagus, sehingga bisa memperdalam likuiditas valas di pasar domestik.
Berikutnya adalah terus meningkatkan daya saing termasuk efektivitas pemberantasan korupsi, memotong rantai pasok atau biaya logistik. Termasuk pembangunan infrastruktur harus tepat sasaran untuk menurunkan biaya logistik. Juga harus ada industri manufaktur yang bisa menyerap lebih banyak bahan baku domestik.
Harapannya agar Indonesia tidak ketergantungan pada fluktuasi harga di level internasional dan tidak terpengaruh oleh naik turunnya fluktuasi nilai tukar rupiah.
Sedangkan untuk olahan nikel atau produk hilirisasi, Bhima mendorong agar ada peningkatan standar dan kualitas dari produk yang dihasilkan.
Bhima menilai, jika kembali terjadi perang dagang antara AS dan China, sebenarnya banyak peluang yang bisa ditangkap oleh Indonesia. Seperti perubahan rantai pasok kendaraan listrik, perubahan rantai pasok komponen energi terbarukan ke pasar Asia Tenggara.
"Jadi, Indonesia jangan dijadikan pasar dari impor teknologi energi terbarukan atau hanya sebagai eksportir komoditas olahan yang nilainya rendah tapi juga bisa menjadi basis industri. Nah, ini yang harus butuh banyak insentif, butuh banyak dukungan infrastruktur kawasan industri tapi yang memang punya prinsip lingkungan dan juga prinsip sosial yang lebih baik. Sehingga ada pengalihan ekspor itu dan pengalihan basis produksi ke Indonesia," ucap dia.
Lebih lanjut, Bhima mengingatkan, di periode pertama Trump, ketika terjadi perang dagang AS-China, Indonesia hampir tidak mendapatkan manfaat dari relokasi industri. Negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam, Malaysia, Thailand dan Kamboja, justru yang mendapatkan keuntungan beserta dari relokasi industri tersebut akibat perang dagang tersebut.
"Ini untuk belajar dari Indonesia agar tidak mengulangi kesahalahan ya sebelumnya pada saat Trump menjabat, relokasi pabriknya sedikit ke Indonesia. Jadi memang insentif fiskal misalnya, kan banyak diberikan kepada smelter nikel yang kadarnya rendah. Nah ini harus ada pengalihan lah ke industri -industri yang ada di rantai pasok tengah. Misalnya, untuk manufaktur dari produk nikel untuk baterai domestik, untuk komponen EBET domestik, juga untuk kendaraan listrik domestik," ungkapnya.
"Jadi selama ini insentif fiskalnya banyak salah sasaran, pajak nya banyak salah sasaran, tex holiday banyak salah sasaran. Ini waktunya untuk melakukan evaluasi sehingga investasi yang masuk dan pengembangan rantai pasok domestik bisa sejalan dan lebih fokus,"tukas Bhima.

