Trump Menang, Eskalasi Timteng Berpotensi Meningkat dan Ukraina Ditinggalkan
SinPo.id - Pengamat militer dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, kembali terpilihnya Donlad Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), dengan didukung penuh oleh mayoritas Partai Republik di Senat dan DPR AS, akan menghadirkan dampak signifikan pada berbagai isu politik global, terutama konflik di Timur Tengah, dan Rusia versus Ukraina.
Fahmi menguraikan, di Timur Tengah, pendekatan Trump pada periode sebelumnya yang sangat pro-Israel, bisa memperburuk ketegangan di wilayah tersebut.
"Kebijakan-kebijakan Trump di masa lalu, seperti pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem dan pengakuan terhadap Dataran Tinggi Golan, menunjukkan dukungannya yang kuat pada Israel tanpa banyak mempertimbangkan dampaknya bagi Palestina," kata Fahmi saat dihubungi SinPo.id, Kamis, 7 November 2024.
Menurut Fahmi, jika kebijakan itu dilanjutkan atau justru diperkuat Trump, maka konflik di Gaza bisa semakin memanas. Dan kelompok Hezbullah di Lebanon, akan merespons dengan langkah-langkah yang berpotensi memicu eskalasi lebih jauh.
"Situasi ini dapat menimbulkan ketidakstabilan yang semakin menyulitkan upaya perdamaian di Timur Tengah," tuturnya.
Selain itu, hubungan AS dengan Iran juga diperkirakan akan kembali tegang. Trump sebelumnya menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, dan kemungkinan besar akan menghidupkan kembali atau bahkan memperketat sanksi terhadap negara Mullah tersebut.
Hal ini berpotensi mendorong Iran untuk mengintensifkan pengembangan program nuklirnya sebagai respons atas tekanan AS. Pada gilirannya, bisa menimbulkan kekhawatiran bagi Israel dan sekutu AS di kawasan tersebut.
"Konflik semacam ini akan memiliki dampak luas bagi stabilitas global, terutama di pasar energi, mengingat pentingnya Selat Hormuz sebagai jalur distribusi minyak dunia," ucapnya.
Sedangkan kebijakan Trump di Ukraina yang masih berseteru dengan Rusia, kemungkinan akan melunak. Sebab, pada periode sebelumnya Trump memiliki pendekatan yang lebih lunak dan ramah terhadap Rusia.
Fahmi memprediksi, kemungkinan Trump akan mengurangi atau bahkan menghentikan bantuan AS untuk Ukraina dengan alasan mengutamakan urusan dalam negeri.
"Jika ini terjadi, Ukraina mungkin kehilangan dukungan utama dalam perlawanan terhadap Rusia, yang bisa membuat posisi Ukraina semakin rentan. Saya melihat bahwa ini berpotensi mengubah dinamika konflik di Eropa Timur dan menimbulkan tantangan baru bagi sekutu-sekutu NATO," tukasnya.

