PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Pengamat Saran Prabowo Gencarkan Transisi Energi Demi Target Ekonomi 8 Persen

Laporan: Tio Pirnando
Sabtu, 26 Oktober 2024 | 19:37 WIB
Presiden Prabowo Subianto saat memimpin rapat perdana Kabinet Merah Putih (SinPo.id/ Setpres)
Presiden Prabowo Subianto saat memimpin rapat perdana Kabinet Merah Putih (SinPo.id/ Setpres)

SinPo.id - Managing Director Energy Shift Institute (ESI), Putra Adhiguna, menyarankan Presiden RI Prabowo Subianto untuk menggencarkan transisi energi apabila ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen. Karena, dengan  percepatan transisi ke energi terbarukan, Indonesia akan dapat swasembada energi. 

"Transisi energi menjadi krusial dengan target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen yang telah ditetapkan oleh Presiden Prabowo," kata Putra dalam keterangannya, Sabtu, 26 Oktober 2024. 

Putra mengingatkan, jika Indonesia masih ketergantungan pada energi fosil yang  produksinya terus turun, justru mengancam cita-cita tersebut. Karenanya, Prabowo perlu menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendorong investasi energi terbarukan, bukan energi fosil.

Menurut Putra, energi merupakan pondasi bagi pertumbuhan di sektor ekonomi mana pun. Sementara perusahaan global semakin menuntut tersedianya energi bersih di negara tujuan investasi mereka.

"Transisi energi adalah perkara daya saing Indonesia di level global, perkara daya saing menarik investasi industri berkualitas dan menciptakan lapangan kerja. Karenanya, transisi energi lebih luas dari perihal terkait PLN, pemerintah lah yang harus berhitung untung rugi ekonomi bila tidak memiliki suplai energi bersih,” katanya. 

Putra juga menggarisbawahi pentingnya perencanaan yang matang di sektor energi untuk mendorong pembangunan, sekaligus menghindari beban jangka panjang. Sebab itu, pemerintah perlu mendorong Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih presisi dan dapat dijadikan patokan oleh investor.

Selain itu, menurut dia. pemerintah juga perlu memberikan kejelasan regulasi. Sampai saat ini, RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) belum kunjung disahkan.

"Pengalaman selama ini menunjukkan kalau Permen (peraturan menteri) saja tidak cukup, Perpres (peraturan presiden) saja tidak bisa jalan, jadi perlu ada kejelasan terkait undang-undang energi terbarukan,” tegasnya.

Analis Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Anissa Suharsono menambahkan, sektor energi Indonesia berkaitan erat dengan politik dan kepentingan energi fosil.

Sebab, transisi ke sistem energi yang lebih bersih, membutuhkan perubahan fundamental pada kebijakan energi Indonesia, yang hanya dapat dicapai dengan kemauan politik yang kuat. Prabowo dinilai memiliki pondasi kuat di awal kepemimpinannya untuk menjalankan aksi yang dibutuhkan, salah satunya reformasi subsidi energi.

Anissa melanjutkan, transisi energi tidak akan dapat direalisasikan tanpa pemerintah mengatasi berbagai hambatan terhadap perkembangan energi terbarukan, seperti ketentuan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), tarif energi terbarukan, dan subsidi energi fosil yang merugikan energi terbarukan.

"Iklim investasi yang stabil hanya dapat terbentuk jika pemerintah memiliki peta jalan yang jelas dan mengikat secara hukum, seperti yang telah diidentifikasi dalam dokumen CIPP JETP,” kata Anissa.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, menambahkan Indonesia tidak akan bisa swasembada energi selama masih sangat bergantung pada energi fosil. Pasalnya, saat ini pun, Indonesia sudah mengimpor seluruh jenis bahan bakar fosil, termasuk batu bara.

Seiring berkurangnya cadangan dan produksi, lanjut dia, dikhawatirkan impor energi fosil akan membesar, jika Indonesia tidak secara cepat bertransisi ke energi terbarukan.

"Perlu diingat, hingga kini Indonesia belum memiliki regulasi terkait transisi energi pada level undang-undang. Padahal, payung hukum ini penting agar regulasi di bawahnya bisa selaras, yang pada akhirnya dapat menjadi daya tarik investasi energi terbarukan di Indonesia,” kata Agung.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia mengimpor minyak mentah hingga 132,39 juta barel sepanjang tahun 2023. Indonesia juga mengimpor produksi jadi olahan minyak sampai 26,89 juta kiloliter (KL) dan LPG 6,95 juta ton. Bahkan, pada tahun yang sama, Indonesia juga mengimpor batu bara walau dalam volume kecil, yakni 14,46 juta ton.

Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan Indonesia masih lambat. Pada 2023, bauran energi terbarukan nasional baru mencapai 13,1 persen, jauh dari target 25 persen pada 2025. Namun, bukannya menyusun strategi untuk menggenjot energi terbarukan, pemerintah justru berencana menurunkan target baurannya menjadi 17-19 persen pada 2025.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI