INDUSTRI NIKEL

Bahlil Bantah Tuduhan AS Ada Kerja Paksa di Industri Nikel Indonesia

Laporan: Tio Pirnando
Jumat, 11 Oktober 2024 | 16:38 WIB
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (SinPo.id/ Dok. ESDM)
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (SinPo.id/ Dok. ESDM)

SinPo.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membantah laporan Global State of Child and Forced Labour yang diterbitkan Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) pada 5 September 2024 silam, terkait adanya kerja paksa di industri nikel Indonesia. Sebab, tuduhan itu tidak berdasar.

"Nggak ada kerja paksa. Saya kan hampir setiap bulan, waktu saya jadi Menteri Investasi, turun ke lokasi," ujar Bahlil dalam keterangannya, Jumat 11 Oktober 2024.

Ketua Umum Partai Golkar ini menganggap, tudingan tersebut hanya kampanye hitam untuk merusak reputasi Indonesia di mata internasional.

"Ini hanya black campaign (kampanye hitam) aja kok, Ini hanya black campaign, ini geopolitik. Tenang aja," kata Bahlil.

Bahlil juga menilai, kampanye hitam itu berasal dari negara yang merasa hebat, namun tidak lebih baik dari Indonesia. Bahlil justru meyakini, Indonesia akan menjadi negara maju dengan memanfaatkan kemampuan dan kekayaan sumber daya alam (SDA).

"Negara luar itu, yang merasa semua paling hebat itu, mohon maaf, mereka bukan lebih baik daripada kita. Yakinlah, bahwa Indonesia ke depan akan menjadi negara yang baik dengan pendapatan per kapita tinggi, GDP tinggi, dan kita mampu menjadi negara nomor 10 terbaik dalam GDP," kata Bahlil.

Sebelumnya, Wakil Menteri Urusan Perburuhan Internasional, Departemen Tenaga Kerja AS, Thea Lee menyatakan, hilirisasi nikel di Indonesia terjadi lantaran adanya kerja paksa.

Lee menuding, warga negara asing (WNA) asal China direkrut untuk bekerja di Indonesia, berdasarkan laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) tentang kondisi kerja di pabrik peleburan nikel yang terkonsentrasi di Pulau Sulawesi dan Maluku di Indonesia Timur.

Perusahaan-perusahaan nikel itu dimiliki dan dioperasikan dengan kemitraan antara perusahaan China dan Indonesia.

Para pekerja dari kedua negara diduga menghadapi pemotongan upah secara sewenang-wenang, kekerasan, lembur paksa, dan pengawasan terus-menerus. Termasuk menghadapi penyitaan paspor dan pembatasan pergerakan.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI