MK Diminta Tafsirkan Frasa “Warga Negara Indonesia” dalam UUD 1945
SinPo.id - Seorang advokat bernama Subhan mengajukan penafsiran yang dimaksud dengan “Warga Negara Indonesia” dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini diajukan karena menurut Pemohon pada faktanya banyak orang dari bangsa lain yang menganggap dirinya Warga Negara Indonesia, tetapi tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia dan menduduki posisi/jabatan strategis di pemerintahan.
“Kami mendapatkan peristiwa konkret bahwa peristiwa konkret itu terjadi saat pemilu. Di mana ada kontestan atau peserta pemilu yang saya dapat buktikan tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia,” ujar Subhan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu 9 Oktober 2024.
Selengkapnya Pasal 26 ayat (1) berbunyi, "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga negara". Pemohon menjelaskan, "Warga Negara Indonesia" telah dijadikan sebagai syarat utama untuk menjadi presiden, wakil presiden, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, anggota MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta jabatan-jabatan strategis negara lainnya.
Namun, menurut Pemohon, terdapat kenyataan, pengisian jabatan tersebut banyak yang disertai dan/atau diikuti oleh orang dari bangsa lain yang belum memiliki status pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia. Pemohon mengatakan orang dari bangsa lain yang lahir dan tinggal di wilayah Indonesia menganggap dirinya otomatis telah menjadi Warga Negara Indonesia.
Sehingga kata Pemohon, telah terjadi pemilihan umum (pemilu) yang disertai oleh orang bangsa lain yang ternyata tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia, baik orang tuanya atau leluhurnya. Dalam permohonannya, Pemohon menyebut calon presiden pada Pemilu 2024 lalu Anies Rasyid Baswedan serta Habib Luthfi bin Yahya yang diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) diketahui oleh umum adalah orang bangsa Yaman yang tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia, yang secara mutatis mutandis yang bersangkutan tidak memiliki status sebagai Warga Negara Indonesia.
“Di dalam persyaratan, disebutkan Undang-Undang Dasar Pasal 6 kalau enggak salah bahwa calon presiden dan calon wakil presiden harus orang Indonesia atau Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya. Namun oleh KPU yang mendasarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996, cukup peserta itu dibuktikan denga apa, dibuktikan Kartu Keluarga, KTP, itu saja. Itu untuk membuktikan kewarganegaraan dia,” tutur Subhan.
Pemohon mengatakan, peranakan dari bangsa lain dapat menjadi Warga Negara Indonesia dan harus dengan pengesahan berdasarkan Undang-Undang sebagaimana ketentuan yang sudah konstitusional absolut diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 26 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara". Penafsiran dari bangsa lain yang menjadi Warga Negara Indonesia, harus dibuktikan dengan adanya Pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia. Semua Undang-Undang yang didalamnya terdapat pengisian jabatan, baik dipilih ataupun diangkat, yang diikuti dan/atau disertai oleh warga negara dari bangsa lain, wajib menyertakan bukti adanya pengesahan dari yang bersangkutan sebagai Warga Negara Indonesia.
Perkara Nomor 138/PUU-XXII/2024 ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Dalam sesi nasihat hakim, Enny menegaskan kewenangan MK dalam hal ini ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan, permohonan Pemohon dalam perihalnya adalah permohonan penafsiran Pasal 26 ayat (1) UUD 1945, bukan pengujian undang-undang.
“Jadi, ini harus dikaitkan dengan dasar kewenangan MK-nya dulu. Jadi, perihalnya ini sendiri nanti harus diperbaiki. Jadi, silakan Bapak dan timnya merenung-renunglah, gitu ya, kira-kira melihat persoalan ini kalau di sini kan dijelaskan nih, menyebutkan kasus konkretnya ada Bapak Anies Baswedan, ada dikaitkan dengan keturunan Yaman, itu belum disahkan sebagai WNI. Bapak cari-cari itu mungkin, yang tepat itu undang-undang apa yang mau diujikan ke MK ini, yang pas sekali dengan kondisi itu, ya. Batu ujinya adalah Undang-Undang Dasar, ya. Nanti kalau Undang-Undang Dasar itu mungkin ada hal-hal yang, apa namanya, menjadi apa, yang dipertanyakan di situ, nanti dipertegas di dalam argumentasi yang dibangun di situ, Pak, ya,” tutur Enny.
Kemudian, Anwar mengatakan Pemohon perlu menguraikan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan ini. Pemohon juga harus mengelaborasi kerugian konstitusional yang dialami atau yang akan dialami dikaitkan dengan kedudukan hukum yang sudah diuraikan dalam permohonan.
“Supaya bisa dapat legal standing di kedudukan hukum, Saudara uraikan, Saudara harus menjelaskan, mengelaborasi. Ya, kalau misalnya, ini umpama, ya, katakanlah Anies Baswedan menurut Saudara itu tidak, katakanlah tidak sah atau tidak apa seharusnya tidak boleh menjadi capres, kan masih ada calon lain, kan begitu. Kalau misalnya hanya itu, lalu dijadikan sebagai ada kerugian Pemohon untuk mengajukan Permohonan ini,” tutur Anwar.
Sebelum menutup persidangan, Arief mengatakan Pemohon dapat memperbaiki permohonan dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021. Pemohon memiliki kesempatan untuk memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan paling lambat harus diterima Mahkamah pada Selasa, 22 Oktober 2024 pukul 13.00 WIB