GAPPRI Apresiasi Pemerintah yang Batal Naikkan Cukai Rokok pada 2025

Laporan: Tio Pirnando
Jumat, 27 September 2024 | 12:55 WIB
Ilustrasi rokok batangan. (SinPo.id/Quit Victoria)
Ilustrasi rokok batangan. (SinPo.id/Quit Victoria)

SinPo.id - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengapresiasi keputusan pemerintah yang tidak jadi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025 mendatang. Karena, keputusan itu akan membantu kelangsungan industri rokok dan para konsumen tetap terpacu membeli rokok legal.

"Selain apresiasi tarif CHT tidak naik, GAPPRI juga meminta pemerintah agar harga jual eceran (HJE) rokok tidak berubah di tahun 2025, serta tidak ada kenaikan PPN menjadi 12 persen," kata Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan dalam keterangannya, Jumat, 27 September 2024. 

Adapun pertimbangan pemerintah tidak menaikkan tarif CHT, karena munculnya fenomena downtrading rokok imbas dari kenaikan cukai rokok pada 2020 hingga 2024 yang nilai rata-ratanya di atas 10 persen tiap tahunnya dan membuat kenaikan totalnya di atas 65 persen.

Kenaikan tersebut membuat harga rokok legal di pasaran lebih mahal dan membuat konsumen beralih ke produk rokok lebih murah, yaitu rokok-rokok ilegal.

Henry mengatakan, selama ini pabrik anggota GAPPRI berupaya untuk terus bertahan dengan tenaga kerja yang ada. Hal ini karena kondisi pasar rokok legal yang terancam oleh tekanan kebijakan non fiskal dan fiskal. 

Di sisi lain, kelangsungan industri disertai turunnya produksi dan melambatnya kinerja penerimaan CHT  memerlukan kebijakan mitigasi.

"Kami mendorong adanya keseimbangan antara fungsi pengendalian dan fungsi penerimaan ke depan," saran Henry.

Sebab itu, GAPPRI mengusulkan empat hal kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.

Pertama, tarif CHT untuk 2025 hingga 2027 tidak naik. Menurut Henry, hal tersebut demi menjaga kelangsungan proses pemulihan industri hasil tembakau legal nasional.

Kedua, GAPPRI berharap HJE rokok pada 2025 tidak naik. Hal ini untuk menyesuaikan dengan daya beli yang semakin rendah.

Ketiga, tarif PPN tidak naik ke 12 persen pada 2025 demi menjaga penjualan dalam kondisi turunnya daya beli masyarakat.

Keempat, mendorong agar Operasi Gempur Rokok Ilegal terus ditingkatkan sampai ke produsen rokok ilegal dengan melibatkan aparat penegak hukum (APH) terkait.

"Empat usulan kami dimaksudkan lebih berpihak melindungi rokok legal yang sudah merekrut banyak tenaga kerja terutama tenaga kerja wanita dan sebagian besar pabrik padat berbahan baku dalam negeri," kata Henry.

Henry menyampaikan, pada Agustus lalu, GAPPRI sebelumnya pernah mengingatkan Menkeu Sri Mulyani agar tidak menaikkan tarif CHT untuk tahun 2025 hingga 2027 guna memberikan kesempatan bagi industri rokok legal untuk pulih.

"GAPPRI juga meminta pemerintah tidak melakukan simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau dan mendekatkan disparitas harga antar golongan rokok," kata Henry.

Henry menerangkan, industri hasil tembakau (IHT) nasional sedang tidak baik-baik saja dengan indikasi yang jelas. Dalam hal ini, terjadi fenomena downtrading atau penyusutan konsumsi rokok Golongan I. Rokok Golongan II pun ikut mengalami penyusutan lantaran para konsumen berpindah ke rokok lebih murah, termasuk rokok ilegal.

Peredaran rokok ilegal pun terus menggerus pangsa pasar rokok legal. Hal ini tercermin dari penerimaan CHT tahun 2023 yang tidak mencapai target. Data Kemenkeu menunjukkan, tingkat peredaran rokok ilegal meningkat dari 5,5 persen pada 2022 menjadi 6,59 pada 2023.

"Prediksi kami target CHT tahun 2024 pun tidak akan tercapai," kata Henry.

Kondisi itu dinilai Henry menandakan bahwa harga rokok legal di Indonesia sudah tidak terjangkau oleh sebagian besar konsumen, karena daya beli mereka sangat lemah seiring tingginya kenaikan tarif CHT periode 2020-2024.

"Dengan menjaga tarif CHT, HJE, serta PPN, hal ini tentu akan membantu pemulihan iklim industri rokok legal dengan harapan produksi dapat meningkat dan pasti target penerimaan CHT dapat tercapai," tuturnya. 

Di sisi lain, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik menimbulkan kekhawatiran GAPPRI mengingat dampak berganda kebijakan yang terlalu ketat.

"Rokok ilegal akan semakin menjamur jika regulasi yang diterapkan justru menekan industri formal. Kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang bukanlah solusi efektif untuk menurunkan prevalensi merokok, tetapi hanya akan membuka jalan bagi produk ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai," kata Henry.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI