Hari radio nasional

Radio, Embrio Nasionalisme dan Ihtiyar Menjaga Kedaulatan

Laporan: Sinpo
Rabu, 11 September 2024 | 07:00 WIB
Edi Faisol (Dok/Sinpo.id)
Edi Faisol (Dok/Sinpo.id)

Selama ini kita mengenal Radio Republik Indonesia (RRI) yang lahir 11 September 1945, yang kemudian menjadi acuan sebagai hari radio nasional. Namun jika ditarik sejarah lebih dalam, telah ada kepeloporan pendirian lembaga penyiaran radio pertama kali oleh Mangkunegoro VII dan Ir. Sarsito Mangunkusumo yang mendirikan Solosche Radio Vereniging (SRV) tepatnya 1 April 1933.

Disusul kemudian berbagai stasiun radio seperti MARVO, EMRO, CIRVO, VORL, SRV, Radio Semarang, dan lainnya. Keberadaan SRV halnya radio lain ketika itu menyiarkan berbagai jenis-jenis informasi yang bersifat ketimuran seperti kebudayaan, kesenian, dan pergerakan nasionalisme.

Keberadaan SRV juga disebut bagian lahirnya lembaga penyiaran pribumi pertama sekaligus mendorong kaum hindia saat itu melahirkan sebuah organisasi perkumpulan dari berbagai radio ketimuran nernama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) pada 29 Maret 1937.

Tujuan organisasi PPRK adalah bersifat sosial budaya yaitu untuk memajukan seni dan budaya Indonesia. Dua bulan kemudian, tepatnya tanggal 7 Mei 1937, PPRK mengadakan pertemuan dengan menghasilkan kesepakatan bahwa siaran ketimuran dilakukan oleh PPRK.

Tercatat PPRK memberikan peran penting akses informasi bagi publik dengan pemberitaan perang dunia II yang ditandai dengan diserbunya Polandia oleh Jerman pada tanggal 1 September 1939, yang saat itu membuat posisi pemerintah Hindia Belanda di Indonesia semakin tersudut. 

Tantangan Tekhnologi Digital dan Informasi Menyesatkan

Era keterbukaan menjadikan keberadaan media termasuk lembaga penyiaran radio bukan tak mungkin ditumpangi kepentingan yang secara sadar mentransformasikan lewat konten siaran yang disampaikan.

Di sisi lain munculnya tekhnologi digital yang menghadirkan media baru dan media sosial telah menimbulkan informasi menyesatkan publik atau hoaks. Hasil kajian Aliansi Jurnalis Independen menunjukkan muncul berita hoaks tak lepas dari kepentingan politik dan pertentangan antar golongan.

Hoaks muncul lebih banyak saat momentum politik nasional dan Pilkada dengan beragam efek paska momentum tersebut. Informasi menyesatkan itu halnya lingkaran setan yang sering kali tak hanya menyesatkan publik, namun juga dikonsumi jurnalis yang lalai dalam memproduksi karya jurnalistik.

Perkembangan tekhnologi digital berbasis internet juga mempengaruhi sistem dan pola kerja jurnalis, baik media baru atau online dan  cetak, termasuk radio. Munculnya pola kerja instan mengacu sesuatu yang sedang trending di media sosial sering kali menyesatkan redaksi

Tak jarang meja redaksi media menyajikan berita terbawa sesuatu yang sedang dibahas di media sosial hanya mengutamkan clickbait yang mengutamakan jumlah pembaca atau penghasilan yang didapat dibandingkan kualitas.

Hal itu justru terjadi juga pada media siaran seperti radio, sejumlah kasus misinformasi akibat ulah hoaks yang terlanjur disiarkan di lembaga penyiaran termasuk radio,  ternyata awalnya diambil dari media sosial.

Peran Serius Mengelola Radio

Dalam kontek tersebut, sudah seharusnya para pengelola stasiun penyiaran radio bertanggungjawab menjalankan standar program siaran yang bebas dari ancaman intoleransi dan informasi bohong atau hoaks. Tentu sesuai peraturan dan keketatapan pedoman perilaku penyiaran, dan tak kalah penting berlaku di daerah yang tetap mengakomodir kearifan lokal.

Jika kita berpikir lebih mendalam tentu keberadaan lembaga radio tak sesederhana itu. Apa lagi dengan beban berat sebagai menjaga salah satu produk penyiaran yang berdaulat dalam bingkai NKRI, yang saat ini banyak bersaing dengan media baru dan media sosial. Pengelola radio tak hanya terpaku pada satu pola produksi penyiraan berbasis frekwensi dan digital, namun harus melihat realitisas lembaga penyiaran dengan beragam tantangan.

Fakta masih adanya pengelola radio kurang profesionalitas banyak melanggar Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers dengan beragam turunan aturan yang mengatur tentang etika jurnalistik.

Di sisi lain, tak disadari banyak lembaga penyiaran tak tunduk terhadap undang-undang nomor 13 tahun 2003 yang diubah omnibus law klaster ketenagakerjaan dengan membayar upah pekerjnya tak sesuai upah minimum. Sejumlah aturan itu tak bisa diabaikan saja, hal ini sangat penting dalam kaitanya regulasi negara yang saling terkait khusunya dengan produk penyiaran. Bagaimana mungkin lembaga penyiaran dalam hal ini radio mampu menjaga kedaulatan jika karya jurnalistiknya masih banyak tak sesuai dengan  standar kaidah dan etika jurnalistik?

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mungkin pengelola radio mampu meprofesionalkan pekerjanya, jika masih belum memenuhi standar regulasi hubungan idnutri media yang diharapkan bisa menjaga profesionalitas ? Pertanyaan itu penting jika dikaitkan dengan fakta survei indek profesionalitas dan kesejahateraan jurnalis yang masih di bawah harapan. Salah satunya pekerja di radio kurang profesional seiring dengan upah yang diberikan cenderung kecil.

Mengacu hal itu sudah tentu semua stakeholder yang terkait dengan radio maupun segenap perangkat pendukung mampu memahami akar persoalan dari hulu hingga muara yang tentu  ada kaitanya dengan sejumlah instrumen pendukung.

Baik pengelola radio sebagai penyelenggara lembaga penyiaran, pemerintah sebagai penjamin produk, maupun pekerja media dan masyarakat secara luas yang berhak mendapatkan akses informasi siaran yang beretika, sehat dan tak menyesatkan. (*)

* Pemred SinPo.id dan SIN PO Tv 

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI