Kebijakan BMAD Picu Resiko Tiongkok Retaliasi Perdagangan Indonesia

Laporan: Juven Martua Sitompul
Minggu, 18 Agustus 2024 | 11:31 WIB
Ilustrasi ubin keramik. Istimewa
Ilustrasi ubin keramik. Istimewa

SinPo.id - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan potensi retaliasi dari Tiongkok menjadi ancaman serius bagi perdagangan Indonesia jika kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dikenakan terhadap produk keramik dari negara tersebut.

Menurutnya, penerapan BMAD harus dipertimbangkan secara matang mengingat risiko retaliasi yang bisa berdampak lebih luas terhadap perdagangan dalam negeri. Jika niatnya pemerintah ingin menyelamatkan industri keramik dalam negeri tidak efektif dengan BMAD.

"Saya katakan pengenaan bea masuk itu sifatnya temporer, sementara, maka dia tidak mengobati akar permasalahan, jadi dia bisa bertahan tetapi begitu nanti sudah habis waktunya bea masuk harus di normalisasi kembali akan muncul masalah baru," kata Faisal kepada wartawan, Jakarta, Minggu, 18 Agustus 2024.

"Oleh karena itu kalau memang pemerintah ingin menerapkan bea masuk untuk menyelamatkan industri dalam negeri jadi jangan cuma mengandalkan bea masuk saja. Akar permasalahannya harus diobati," timpalnya.

Berkaca dari itu, Faisal menjelaskan alasan industri dalam negeri Tiongkok maju dan memiliki daya saing. Alasannya, mendapat dukungan penuh oleh pemerintahnya, baik dari segi pajak, pemberian insentif, dan lain sebagainya.

"Karena Tiongkok itu dia lebih murahnya itu karena pemerintahnya jor-joran memberikan insentif kepada industri nya sehingga ketika dijual jauh lebih murah sampai insentif pajak, non pajak, listrik murah segala macam," ucapnya.

"Nah ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah, saya kira bukan hanya untuk industri keramik tetapi juga industri-industri yang lain karena industri yang lain juga menghadapi permasalahan yang sama dengan produk-produk Tiongkok," katanya.

Faisal mengatakan ancaman retaliasi dari Tiongkok memungkinkan terjadi. Sehingga, pemerintah perlu mengantisipasinya dengan langkah-langkah yang tepat untuk menghindari hal tersebut.

"Masalah retaliasi memang bisa bahwa memang setiap kali ada kebijakan yang sifatnya safeguard pasti akan mendapatkan tantangan dari negara mitra, nah dalam konteks itu berarti Indonesia perlu mempersiapkan secara diplomatik bahwa kalau kita dikenakan retaliasi nanti apa langkah-langkah pemerintah untuk menghindari hal tersebut," ucapnya.

Faisal mengatakan Tiongkok sudah biasa melakukan balasan atau retaliasi terhadap negara-negara yang mereka anggap tidak adil. Tiongkok cukup berani melakukan balasan. Bahkan dengan Amerika Serikat yang sudah memiliki kekuatan ekonomi seimbang berani melakukan balasan.

"Ini masalah retaliasi itu sesuatu yang biasa terjadi di dalam hubungan perdagangan internasional antar negara tidak usah jauh-jauh kemarin saja, China dikenakan tarif tinggi oleh Amerika kemudian langsung dibalas lagi," kata dia.

Tidak hanya dengan Amerika, Tiongkok berani melawan Eropa yang mengenakan tarif mahal terhadap produk mobil listriknya, apalagi terhadap Indonesia.

"Kemudian Tiongkok dikenakan tarif tinggi untuk produk mobil listrik kendaraan listrik oleh Eropa, nah kemudian dari Tiongkok juga membalas lagi seperti itu, jadi memang kita harus menyiapkan antisipasi kalau kemudian terjadi retaliasi," ucapnya.

Oleh karena itu, Faisal mengatakan kebijakan BMAD ini perlu dilakukan peninjauan ulang, menghitung secara cermat dan memberikan bukti yang kuat bahwa produk keramik dari Tiongkok memang terbukti melakukan retalisasi.

Kelemahan pemerintah Indonesia, kata Faisal, kadang tidak memiliki bukti yang cukup sebagai dasar kebijakan penerapan regulasi tersebut.

"Ditinjau kembali itu artinya harus dipersiapkan dengan matang dikalkulasi dengan matang kalau mau dikenakan mau berapa, jangan tiba-tiba misalkan 200 persen kenapa enggak 100 persen misalkan begitu," ucapnya.

"Jadi ada kalkulasi yang matang untuk mengantisipasi potensi retaliasi dan harus ada metode ada langkah untuk memperkuat daya saing dalam negeri. Jadi harus ada satu pegangan yang kuat dasar yang kuat kalau kita mau menaikkan 200, 100, kadang-kadang pemerintah kan tidak kuat juga pijakan dasarnya," tegasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI