CUKAI MAKANAN SIAP SAJI

Rencana Penerapan Cukai Makanan Bikin UMKM Ketakutan

Laporan: Tio Pirnando
Kamis, 08 Agustus 2024 | 16:57 WIB
Ilustrasi makanan cepat saji (SinPo.id/ Pixabay)
Ilustrasi makanan cepat saji (SinPo.id/ Pixabay)

SinPo.id - Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, meminta pemerintah mengkaji secara matang dan mensosialisasikan terkait rencana penerapan cukai pada makanan olahan dan siap saji. Sebab, rencana itu membuat UMKM ketakutan.

Hal itu disampaikan Herma menanggapi akan dikenakannya cukai terhadap makanan olahan siap saji yang opsinya tercantum dalam Pasal 194 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

"Pasti UMKM ketakutan. Karena kalau UMKM digenjot kayak gini, nanti daya beli masyarakat menurun," kata Herma saat dihubungi SinPo.id, Kamis, 8 Agustus 2024.

Herma menjelaskan, kurangnya sosialisasi dari rencana penerapan cukai tersebut, akan memberatkan UMKM dalam negeri.  Terlebih, UMKM saat ini sudah dibebani dengan kewajiban legalitas, seperti sertifikasi halal dan harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), memikirkan ongkos produksi, ditambah dengan tarif cukai ini.

Di sisi lain, Herma mengingatkan bahwa daerah-daerah di seluruh Indonesia ini mempunyai makanan khas masing-masing. "Apa tega UMKM makanan khas dikenakan cukai juga?" ucapnya.

Menurut dia, ketimbang mengenakan tarif cukai makanan siap saji, lebih baik pemerintah mengatur standarisasi kandungan gula, garam, dan lemak bagi industri makanan dan minuman. Standarisasi ini nantinya bisa diikuti oleh para pedagang-pedagang kecil.

Indonesia dalam hal ini sebenarnya bisa mencontoh negara lain, seperti Singapura yang memberlakukan nutrigrade. Sejak akhir 2023, gerai makanan dan minuman di Singapura diwajibkan mencantumkan label nutrisi pada menu mereka. Tujuannya  untuk membantu pelanggan mengambil keputusan yang tepat saat membeli makanan dan minuman kemasan.

Misal, untuk minuman kemasan, sistem penilaian berkisar dari A hingga D, dengan D sebagai yang paling tidak sehat.

Produk dengan kandungan gula dan lemak jenuh tertinggi akan mendapat peringkat C atau D dan diharuskan mencantumkan label nutrigrade pada kemasannya. Label itu diberi kode warna, A (hijau tua), B (hijau muda), C (oranye), dan D (merah). Minuman dengan peringkat D akan dilarang diiklankan.

"Nah, dengan begitu pembeli jadi tahu mengenai apa yang akan mereka konsumsi," ujarnya.

Bagi Herma, jika aturan itu terkait kesehatan, seharusnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lebih masif lagi melakukan edukasi menyasar masyarakat. Kendati menjaga kesehatan merupakan tugas bersama, baik keluarga maupun individu masing-masing.

"Intinya, jangan asal melakukan kebijakan tanpa dikaji dan sosialisasi," tukasnya.

Sebagai informasi, pemerintah berencana  untuk mengatur kandungan Gula, Garam, Lemak (GGL) yang berpotensi dikenakan cukai pada makanan dan minuman kemasan.  

Opsi pengenaan cukai terhadap makanan olahan siap saji saat ini tercantum dalam Pasal 194  PP 28/ 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Dalam beleid PP itu menjelaskan, pengenaan cukai terhadap makanan olahan merupakan upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak. Tak hanya cukai, pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak juga dilakukan dengan menetapkan batas maksimal kandungan garam, gula, dan lemak dalam makanan olahan.

Sementara, dalam penjelasan Pasal 194, disebutkan bahwa pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Sedangkan, yang dimaksud dengan pangan olahan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI