Kematian Haniyeh Tingkatkan Kekhawatiran Perang Timur Tengah Meluas
SinPo.id - Kematian pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, yang dibunuh di Iran, dapat memicu ancaman balas dendam dari negara-negara Timur Tengah terhadap Israel, serta meningkatkan kekhawatiran akan konflik yang meluas.
Kematiannya juga menghambat peluang perjanjian gencatan senjata yang akan segera terjadi dalam perang yang telah berlangsung hampir 10 bulan di Gaza antara Israel dan Hamas yang didukung Iran.
"Pembunuhan Haniyeh akan membawa pertempuran ke dimensi baru dan memiliki dampak besar," kata sayap bersenjata Hamas dalam sebuah pernyataan, dilansir dari Reuters, Kamis 1 Agustus 2024.
Pasalnya, Haniyeh tewas akibat rudal yang menghantamnya secara langsung di wisma tamu negara tempat ia menginap, dan serangan itu terjadi beberapa jam setelah ia menghadiri upacara pelantikan presiden baru Iran. Serangan terhadap Haniyeh secara luas diasumsikan dilakukan oleh Israel.
"Kami siap menghadapi skenario apa pun dan kami akan bersatu dan bertekad melawan ancaman apa pun. Israel akan menuntut harga yang mahal atas agresi apa pun terhadap kami dari arena mana pun," kata pejabat senior Hamas Khalil Al-Hayya dalam konferensi pers di Teheran.
Menanggapi kematian Haniyeh, Iran bersumpah akan membalas, dan mengumumkan tiga hari berkabung nasional. Iran juga menyebut Amerika Serikat (AS) memikul tanggung jawab karena dukungannya terhadap Israel.
"Israel telah memberikan dasar untuk hukuman keras bagi dirinya sendiri dan merupakan tugas Teheran untuk membalas kematian Haniyeh," kata Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Di Turki, ribuan demonstran pro-Palestina berbaris melalui jalan-jalan di pusat kota Istanbul pada Rabu malam untuk memprotes pembunuhan Haniyeh. Mereka memegang poster dengan foto Haniyeh, meneriakkan "Israel pembunuh, keluar dari Palestina", serta melambaikan bendera Turki dan Palestina.
Sementara Qatar, yang bersama Mesir telah menjadi penengah pembicaraan yang bertujuan menghentikan pertempuran di Gaza, mengutuk pembunuhan Haniyeh.
"Bagaimana mediasi dapat berhasil jika satu pihak membunuh negosiator di pihak lain?" Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, dalam akun sosial medianya.