Novel Baswedan cs Uji Aturan Syarat Minimal Jadi Pimpinan KPK

Laporan: Tim Redaksi
Selasa, 23 Juli 2024 | 04:51 WIB
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

SinPo.id -  Sejumlah warga negara yang pernah menjadi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

Mereka sekarang ada yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta karyawan swasta. Para Pemohon tersebut, di antaranya Novel Baswedan (ASN Polri), Mochamad Praswad Nugraha (ASN Polri), Harun Al Rasyid (PNS), Budi Agung Nugroho (karyawan swasta), Andre Dedy Nainggolan (PNS), Herbert Nababan (PNS), Andi Abd Rachman Rachim (PNS), Rizka Anungnata (Polri), Juliandi Tigor Simanjuntak (PNS), March Falentino (karyawan swasta), Farid Andhika (karyawan swasta), serta Waldy Gagantika (karyawan swasta). Mereka mengaku menjadi pihak yang dirugikan atas pemberlakuan Pasal 29 huruf e UU KPK sehingga melanggar hak konstitusionalitas Pemohon yang dijamin Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, dan Pasal 28I UUD 1945.

“Kami berpandangan bahwa pengalaman dalam upaya memberantas korupsi dan sama lembaganya yaitu di KPK itu menjadi pandangan yang bisa dipertimbangan Yang Mulia,” ujar Novel dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 68/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat pada Senin 22 Juli 2024.

Para Pemohon pernah menjadi pegawai KPK yang mengalami kerugian konstitusionalitas karena dinyatakan tidak dapat mengikuti seleksi pemilihan pimpinan KPK periode tahun 2024 sampai dengan 2028 berdasarkan penafsiran ketentuan Pasal 29 huruf e UU KPK. Pasal 29 huruf e UU KPK sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 berbunyi: “Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.”

Para Pemohon mengaku memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai pegawai KPK dengan usia kurang dari 50 tahun, tetapi lebih dari 40 tahun, sesuai syarat minimum pendaftaran pimpinan KPK sebelum UU KPK hasil revisi tahun 2019 diberlakukan. Namun, dengan berlakunya Pasal 29 huruf e UU KPK, maka Pemohon tidak dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK periode 2024-2028 karena tidak terpenuhinya syarat minimum usia.

Padahal, kata para Pemohon, syarat minimum usia pimpinan KPK minimal usia 50 tahun tidak diatur dalam konstitusi sehingga termasuk kebijakan hukum terbuka pada pembentuk undang-undang (open legal policy). Ketentuan usia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun mengakibatkan Pemohon yang belum usianya 50 tahun tidak dapat mencalonkan diri menjadi pimpinan KPK untuk periode tahun 2024 – 2028.

Menurut Pemohon, untuk menghentikan adanya kerugian konstitusional warga negara yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan Pasal 29 huruf e UU KPK sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 perlu dimaknai kembali oleh MK dengan bunyi, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK atau paling rendah 40 (empat puluh) tahun dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun sebagai pegawai Komisi Pemberantan Korupsi, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun.”

Mochamad Praswad Nugraha menyebutkan studi perbandingan batas usia menjadi pimpinan sejumlah lembaga negara lainnya, di antaranya Ombudsman Republik Indonesia berusia 40 tahun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berusia 30 tahun, Komnas HAM berusia 40 tahun, Komisi Yudisial berusia 40 tahun, Komisi Informasi Pusat berusia 35 tahun, serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berusia 35 tahun. Dia berharap perbandingan syarat batas usia paling rendah di beberapa lembaga negara tersebut menjadi pertimbangan Mahkamah dalam memeriksa dan memutus perkara ini.

“Kami mohon kemudian itu bisa menjadi pertimbangan Yang Mulia karena seluruh lembaga-lembaga negara itu di rentang 35-40 tahun, hanya KPK sendiri yang 50 tahun,” kata Nugraha.

Selain itu, kuasa hukum para Pemohon Lakso Anindito menyampaikan, permohonan pengujian ini telah disampaikan kepada Mahkamah pada Mei 2024 lalu tetapi MK masih fokus pada penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Tahun 2024. Karena itu, pihaknya meminta putusan sela agar para Pemohon mendapat dispensasi atau penundaan proses seleksi pemilihan pimpinan KPK yang pendaftarannya telah ditutup pada Senin, 15 Juli 2024 lalu.

“Kami ingin mengajukan terkait putusan sela Yang Mulia apabila diperkenankan agar Pemohon kami tidak semakin jauh kehilangan haknya dan tetap mendapatkan dispensasi atau prosesnya ditunda pada proses seleksi yang sedang berlangsung,” tutur Lakso.

Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pada Pasal 29 huruf e UU KPK secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK atau paling rendah 40 (empat puluh) tahun dengan pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun sebagai pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun”.

Sidang perkara ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Dalam sesi nasihat hakim, Enny menyatakan para Pemohon belum menguraikan alasan permohonan ini tidak melanggar asas ne bis in idem atau berbeda dengan permohonan yang sebelumnya telah diputus MK.

“Tapi ini berat ini, karena barang ini sudah diputus oleh Mahkamah baru saja putusannya, Putusan 112 itu kan tahun 2022, kemudian Anda minta lagi untuk diputus, ini memang harus bisa meyakinkan Mahkamah di mana letak persoalan konstitusionalitasnya itu, ini yang benar-benar harus Anda bisa meyakinkan dengan menguraikan dari sisi batu ujinya atau alasan di situ yang kuat,” jelas Enny.

Sementara, Arsul Sani mengatakan soal latar belakang pendidikan yang menjadi kualifikasi pimpinan KPK disesuaikan dengan mandat yang diberikan kepada KPK seperti penindakan, pencegahan, dan pendidikan berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Sebab, petitum yang meminta pasal a quo dimaknai dengan berpengalaman sebagai pegawai KPK tanpa penjelasan lebih detail justru dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan lain.

“Kenapa enggak dikualifikasikan ke sana, karena kalau enggak yang seperti tadi disampaikan, mohon maaf bukan merendahkan atau apalagi melecehkan bidang-bidang yang lain, di luar yang menjadi core business-nya KPK, katakanlah mohon maaf sekali lagi pekerja lama sebagai driver sekolah pintar kan sudah memenuhi sekian tahun,” kata Arsul.

Sementara itu, Suhartoyo menyinggung terkait MK yang fokus terlebih dahulu melaksanakan tugas menangani penyelesaian perkara PHPU Tahun 2024. Dia mengatakan, MK memang menunda penanganan permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) saat PHPU, bahkan MK telah menerima lebih dari 50 permohonan yang masuk sejak Maret.

“Memang ada waktu yang berkelindan dengan penerimaan calon anggota atau pimpinan KPK yang kemudian waktunya sudah tutup, tapi semua terserah nanti bagaimana rapat hakim menyikapi nanti kalau ada permohonan provisi. Hanya memang selama ini provisi itu, ada sih yang memang beralasan dan kemudian di, tapi memang MK pada titik untuk mengabulkan yang putusan sela provisi itu jarang sekali meskipun memang ada, itu artinya bahwa sangat dikatikan dengan case by case yang bagaimana relevansi dan bobot argumentasi yang disampaikan,” kata Suhartoyo.

Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan, para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas permohonan paling lambat harus diterima MK pada Senin, 5 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB.(*)sinpo

Komentar: