HIPMI: Rencana BMAD Ubin Keramik Berpotensi Mengancam Program 3 Juta Rumah

Laporan: Juven Martua Sitompul
Minggu, 21 Juli 2024 | 16:05 WIB
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira. (SinPo.id/Istimewa)
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira. (SinPo.id/Istimewa)

SinPo.id - Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira merespons rencana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Tiongkok yang tengah diusulkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).

Menurutnya, jika rekomendasi KADI soal BMAD atas impor ubin keramik dengan tarif maksimal sebesar 199,98 persen dijalankan, berpotensi mengancam program 3 juta rumah di pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

"Program ambisius seperti pembangunan 3 juta rumah tentu membutuhkan pasokan bahan bangunan yang stabil, termasuk keramik. Jika ada kebijakan BMAD yang menyebabkan kelangkaan keramik, maka program ini bisa terdampak. Untuk menghindari masalah tersebut, pemerintah perlu memastikan bahwa pasokan bahan bangunan, terutama keramik, tetap terjaga," kata Anggawira kepada wartawan, Jakarta, Minggu, 21 Juli 2024.

Anggawira yang juga Wakil Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran menyampaikan bukan hanya program rumah 3 juta Prabowo–Gibran yang bisa terdampak, kebijakan BMAD yang terlalu ketat bisa mengakibatkan kelangkaan keramik di pasar. Hal ini akan berdampak pada kenaikan harga yang tentu saja merugikan konsumen.

"Oleh karena itu, kebijakan BMAD harus dirancang dengan hati-hati dan seimbang agar tidak menyebabkan dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya," ucap dia.

Anggawira menuturkan kebijakan BMAD harus dievaluasi secara komprehensif. Jika kebijakan ini terbukti terlalu memberatkan konsumen dan tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi industri dalam negeri maka perlu ada penyesuaian.

Dia meminta pemerintah bisa mempertimbangkan beberapa langkah, seperti halnya menggenjot produksi keramik dalam negeri.

"Mendukung industri dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui insentif dan bantuan teknis," katanya.

Selain itu, pemerintah bisa melakukan diversifikasi sumber impor tidak hanya dari Tiongkok. Impor bisa didapat dari negara lain dengan harga yang tidak jauh berbeda dengan Tiongkok agar tidak terjadi ketergantungan.

"Mengatur diversifikasi sumber impor untuk menghindari ketergantungan pada satu negara, serta pemerintah memfasilitasi teknologi dan inovasi, mendorong adopsi teknologi baru dan inovasi di industri keramik untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produksi," katanya.

Anggawira mendorong sebelum menetapkan BMAD 200 persen sebaiknya dilakukan penyesuaian kebijakan impor terlebih dahulu khususnya keramik dari Tiongkok. Ini penting agar ketersediaan keramik tetap terjaga dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kebutuhan keramik dalam negeri per tahun mencapai 150 juta meter persegi, sementara kapasitas produksi hanya mencapai 70 juta meter persegi, skema yang logis untuk memenuhi 80 juta meter persegi ialah masih membutuhkan skema impor agar tidak terjadi kelangkaan.

"Ini bisa dicapai dengan cara menyesuaikan kebijakan impor agar tetap mendukung ketersediaan bahan bangunan," kata dia.

Di sisi lain, Anggawira juga menekankan penguatan industri lokal untuk menggenjot produksi sesuai dengan kebutuhan pasar.

"Penguatan industri lokal, memberikan dukungan yang lebih besar pada industri keramik dalam negeri agar bisa memenuhi kebutuhan proyek besar seperti ini," ujarnya.

Anggawira mengataka  penerapan BMAD untuk impor ubin keramik 200 persen memang dapat memunculkan polemik, terutama dari sisi konsumen yang mungkin akan menghadapi kenaikan harga.

Dia melanjutkan BMAD harus memberikan praktik yang adil dan terbuka bukan hanya melindungi produsen lokal tetapi juga konsumen.

"Penting untuk memahami bahwa tujuan utama dari BMAD adalah melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan tidak adil yang bisa merugikan produsen lokal. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan lapangan bermain yang setara bagi produsen dalam negeri, sehingga mereka bisa bersaing secara sehat tanpa tekanan dari harga dumping produk impor," tegasnya.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI