Sidang MK, Pemohon Perbaiki Uji Hak Politik Mantan Terpidana Maju Pilkada
SinPo.id - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang diajukan oleh Aditya Anugrah Moha, mantan anggota DPR RI, di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu 17 Juli 2024. Sidang perbaikan permohonan tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Dalam persidangan, Imam Nasef selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan masukan dan nasihat dari ketiga majelis panel. Pemohon melakukan perbaikan pada legal standing (kedudukan hukum) sesuai dengan saran Hakim Konstitusi Daniel Yusmic.
“Setelah kami kroscek hitungan yang disampaikan oleh KPU sama dengan yang kami hitung,” kata Imam.
Terkait dengan permohonan provisi, Imam melanjutkan, Pemohon meminta perkara ini diprioritaskan dan dilakukan speedy trial.
“Kami tambahkan beberapa argumentasi di poin 6, 7 dan 8 halaman 15. Salah satu argumentasi kami selain yang sudah disampaikan sebelumnya adalah meskipun pendaftaran calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimulai pada 27 Agustus 2024, namun proses politik dan konsolidasi menuju pendaftaran dilakukan. Hal ini karena pemohon memiliki niatan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah sehingga meskipun pendaftaran resmi baru akan dibuka pada 27 Agustus 2024 pemohon harus melakukan koordinasi dan konsolidasi partai politik dan atau gabungan partai politik terkait dengan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Saat ini pun telah terbit PKPU Nomor 8 Tahun 2024 yang salah satu poinnya mengatur pencalonan,” jelas Imam.
Sebelumnya, Aditya Anugrah Moha (Pemohon) mengujikan Pasal 7 ayat (2) huruf g yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) sebagaimana telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Menurut Pemohon, ketentuan pasal tersebut telah membatasi hak konstitusionalnya untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif guna membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Pada sidang Pendahuluan Perkara Nomor 54/PUU-XXII/2024 Pemohon melalui kuasa hukumnya, Imam Nasef menyebutkan kasus konkret bahwa saat ini Pemohon berstatus mantan terpidana sejak 7 Oktober 2021 sehingga dalam jangka waktu 5 tahun hingga 7 Oktober 2026 tidak dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024.
Lebih jelas Imam mengatakan, Pemohon sebenarnya telah memperoleh dukungan dan berpotensi untuk diusulkan oleh partai politik untuk menjadi calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Tahun 2024 di Sulawesi Utara. Namun adanya ketentuan persyaratan pendaftaran calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang harus melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ini menghalangi cita-cita Pemohon.
“Padahal Pemohon telah menjalani masa pidana selama 4 tahun penjara berdasarkan Putusan Pengadilan Jakarta Pusat tertanggal 6 Juni 2018. Dan pada 7 Oktober 2021 lalu, berdasarkan Surat Lepas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Kantor Wilayah Jawa Barat Lapas Kelas I Sukamiskin, Pemohon telah dibebaskan karena masa pidananya telah selesai dijalankan, dan denda Rp150.000.000 subsider 2 bulan telah dibayar Lunas pada 26/02/2020,” sebut Imam yang hadir bersama dengan prinsipal di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Selengkapnya Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 56/PUUXVII/2019 menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Also read:
Former Convict's Efforts to Test Political Rights to Run for Regional Elections