Hari Buruh 2024, AJI Serukan Pembebasan Jurnalis Indonesia dari Eksploitasi

Laporan: Tim Redaksi
Rabu, 01 Mei 2024 | 10:34 WIB
AJI. (SinPo.id/Dok. AJI)
AJI. (SinPo.id/Dok. AJI)

SinPo.id - Ketua Bidang Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Edi Faisol, menyerukan pembebasan jurnalis di Indonesia dari praktik eksploitasi. Seruangan itu disampaikan dalam rangka peringatan May Day atau Hari Buruh Internasional.

Menurutnya, peringatan May Day pada tahun ini merupakan momentum untuk mengingat perlawanan para pekerja di masa lalu saat menghadapi situasi buruk, termasuk bekerja 16 jam per hari dengan upah yang sangat rendah tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

"Buruh media di berbagai wilayah Indonesia masih dieksploitasi perusahaan media. Hasil riset AJI pada Februari-April 2023 menemukan hampir 50 persen upah jurnalis masih di bawah upah minimum. Bahkan belasan persen lainnya menyatakan upah mereka tidak menentu atau mendapat upah dari komisi iklan," kata Edi dalam keterangannya pada Rabu, 1 Mei 2024.

Dia menerangkan, berdasarkan riset AJI yang melibatkan 428 jurnalis di berbagai daerah menemukan akal-akalan perusahaan dalam perjanjian kerja. Dia bilang, ebanyak 52,6 persen jurnalis jurnalis memiliki hubungan kerja waktu tertentu atau kontrak dan 11,2 persen perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau tetap. Namun, jurnalis dengan status pekerja tetap tersebut tidak mendapat upah bulanan, melainkan mendapatkan upah berdasarkan satuan hasil atau jumlah berita yang tayang.

"Artinya hak mereka tidak berbeda dengan jurnalis atau pekerja kontrak," tuturnya.

Dia melanjutkan, riset AJI juga menunjukkan penghormatan dan perlindungan terhadap hak perempuan masih sangat rendah. Edi berkata, hanya ada 11,2 persen perempuan yang mendapat hak cuti dengan upah dibayarkan ketika haid pada hari pertama dan kedua. Ketika melahirkan, sebagian jurnalis perempuan menyebutkan tidak bekerja dan tidak mendapat upah. Tapi ada pula perusahaan media yang meminta perempuan tidak bekerja saat melahirkan.

"Belum lagi gelombang PHK yang dialami ribuan buruh media sejak pandemi Covid-19 hingga 2024 ini. Ironisnya, media yang kerap mengkritik UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang merugikan buruh media, justru menggunakan undang-undang tersebut untuk PHK buruh media," ucapnya.

"Akibatnya PHK terhadap buruh media mudah dilakukan perusahaan media dengan nilai pesangonnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Buruh media juga tidak berdaya menghadapi PHK, pemotongan upah, dan berbagai kasus ketenagakerjaan lainnya," lanjutnya.

Di sisi lain, Edi bilang, tidak banyak buruh media yang mengalami PHK atau kasus ketenagakerjaan mau memperjuangkan hak-hak mereka untuk mendapat pesangon, uang pisah, atau uang penghargaan. Ini terlihat dari jumlah korban yang melapor ke lembaga bantuan hukum seperti LBH Pers.

Buruh media juga tidak memiliki wadah untuk berjuang. Data federasi serikat pekerja media (FSPM) Independen pada 2015 terdapat 40 serikat pekerja media di Indonesia. Namun, tidak banyak serikat pekerja media yang aktif. Hanya sebagian yang masih menggelar rapat pengurus secara rutin, penarikan iuran anggotanya tidak berjalan, dan tidak memiliki sekretariat. Akibatnya serikat-serikat ini pada umumnya aktif ketika terjadi PHK atau sengketa ketenagakerjaan di perusahaan media.

Jenis serikat pekerja media yang ada di Tanah Air adalah serikat pekerja lintas perusahaan. Contohnya Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) di Jawa Timur, SPLM Jakarta, SPLM Jawa Tengah, dan SPLM Lampung. Namun kendalanya, serikat lintas perusahaan ini tidak bisa mewakili anggotanya untuk berunding membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Mereka hanya bisa mendampingi ketika terjadi persoalan di tingkat hulu seperti PHK, pemotongan gaji dan semacamnya.

Atas dari itu, Edi menyampaikan, AJI Indonesia mengajak buruh media untuk membentuk serikat pekerja di perusahaan media atau lintas perusahaan media sebagai upaya menaikkan posisi tawar untuk menghentikan berbagai eksploitasi terhadap buruh media.

Selain itu, negara harus menjamin kebebasan berserikat buruh media dengan mengakui serikat lintas perusahaan sehingga bisa mewakili anggotanya dalam membuat perjanjian kerja bersama.

Kemudian, AJI menyerukan, Dewan Pers dan pemerintah perlu memastikan eksploitasi buruh media agar dihentikan dengan segera dan memastikan hak normatif buruh media dipenuhi perusahaan media. Mulai dari soal upah layak, asuransi dan dilindungi keselamatan kerjanya.

"Normalisasi praktik buruk di media dapat merusak demokrasi karena buruh media tidak dapat bekerja secara profesional dan tidak bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas," katanya.

Edi menyampaikan, perusahaan media untuk menghentikan eksploitasi terhadap buruh media dan memenuhi hak-hak buruh perempuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurutya, Peraturan Dewan Pers tentang standar perusahaan pers juga mengamanatkan agar perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada jurnalis dan pekerjanya. Ini artinya perusahaan yang masih megeksploitasi buruh media berarti tidak memenuhi standar Dewan Pers.

"Pemerintah dan DPR mencabut UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang terbukti merugikan buruh media dan buruh pada umumnya," ucap Edi.

BERITALAINNYA
BERITATERKINI