Pakar Yakini MK Bakal Melegitimasi Kemenangan Prabowo-Gibran
SinPo.id - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia, Abdul Chair Ramadhan, meyakini Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menolak gugatan permohonan yang dilayangkan kubu pasangan capres dan cawapres 01 maupun 03. Sebab, permohonan para pemohon dinilai melanggar kompetensi absolut.
"Meyakini Mahkamah Konstitusi tidak akan mengabulkan permohonan dengan tuntutan pendiskualifikasian sebab adanya pelanggaran administrasi pemilu secara TSM sebagaimana yang dimohonkan. Permohonan demikian telah melanggar kompetensi absolut," kata Abdul Chair kepada SinPo.id, Jakarta, Minggu, 21 April 2024.
Abdul Chair menguraikan ada sejumlah dalil yang menjadi landasan MK untuk tidak mengabulkan gugatan para pemohon, yakni mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto. Salah satunya, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengizinkan Gibran bertarung pada kontestasi Pilpres 2024.
"Mahkamah menyatakan, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mempersyaratkan usia minimal 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan tersebut bersifat final and binding," kata dia.
Dia menekankan putusan itu jelas berlaku bagi semua orang. Putusan itu pula dapat langsung dilaksanakan dan oleh karenanya tidak memerlukan atau menunggu revisi terhadap undang-undang.
"Secara mutatis mutandis berlaku bagi regulasi di bawah undang-undang (in casu Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU 19 Tahun 2023)," kata dia.
Abdul Chair justru menyesalkan jika putusan MK terkait batas usia itu dipersoalkan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024. Padahal, tak ada satu pun dari kubu 01 atau 03 yang menentang aturan itu pascadibacakan MK.
"Mengapa setelah penetapan perolehan suara secara nasional oleh KPU baru dipermasalahkan? Apakah ini dapat dikatakan sebagai niat yang berlaku surut?" ucap dia.
Dia juga memandang norma putusan yang menyatakan 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' adalah bentuk pengecualian. Dalam hukum lazim, kata dia, diadakan suatu pengecualian.
"Terdapat adagium yang demikian masyhur, 'tidak ada hukum tanpa pengecualian' (no law without escape clause)," katanya.
Tak hanya itu, Abdul Chair mengatakan aturan pengecualian dalam putusan MK tersebut guna memenuhi keadilan bagi setiap warga negara yang akan dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Pada prinsipnya pengaturan distribusi hak yang dilakukan secara berbeda dapat dibenarkan, sepanjang hal itu tidak menimbulkan kerugian.
"Demikian itu dapat dikatakan adil. Dalam kaitannya dengan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang didalamnya tidak ada pengecualian tentu telah menimbulkan ketimpangan distribusi hak. Pembatasan usia tanpa adanya pengecualian sebagaimana yang dimaksudkan, tidak mencerminkan kondisi yang adil dan benar," kata dia.
Lebih lanjut, dia menyatakan kebenaran dan keadilan merupakan dwitunggal atau satu terhadap yang lain saling memberikan legitimasi. Kebenaran dan keadilan juga merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Menurutnya, perbuatan yang adil adalah suatu tindakan yang berdasar pada kebenaran. Penerapan hukum dikatakan tidak adil, jika suatu norma diadakan pada pada suatu undang-undang, namun tidak diterapkan pada undang-undang lain yang memiliki persamaan.
"Tercapainya keadilan salah satunya adalah dibukanya peluang agar posisi-posisi atau jabatan-jabatan secara proporsional berlaku untuk semua orang. Demikian itu sebagai pemenuhan prinsip perlakuan yang sama dihadapan hukum, prinsip kesempatan yang sama dalam pemerintahan, prinsip jaminan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif. Kesemuanya itu wujud implementasi aksiologi hukum konstitusi yakni, kepastian hukum yang adil," kata dia.
Abdul Chair menjelaskan perihal pengecualian dalam kaitannya dengan batas usia dapat ditemui dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 87 huruf b menyebutkan 'Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun'.
Dengan adanya pengecualian tersebut, kata dia, terhadap hakim konstitusi yang sedang menjabat dianggap telah memenuhi persyaratan usia sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d, yakni berusia paling rendah 55 tahun.
Pengecualian juga terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 yang menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan 'Berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan', bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan.
"Dengan demikian, walaupun belum mencapai batas usia sebagaimana dimaksudkan, sepanjang berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, maka yang bersangkutan dianggap telah memenuhi persyaratan batas usia minimal. Penulis mengetahui persis hal ini, sebab penulis sebagai Ahli Teori Hukum yang memberikan keterangan saat uji materi pasal a quo di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menambahkan frasa pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 UU Pemilu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah merupakan bentuk keadilan korektif setidak-tidaknya guna mewujudkan prinsip kesamaan atas kesempatan yang adil," kata dia.
Abdul Chair menegaskan jika poin-poin gugatan 01 dan 03 tidak seharusnya dilayangkan kepada MK. Tuduhan-tuduhan itu sehatusnya dilaporkan pada Bawaslu.
"Ketika memang ada potensi yang dapat mengubah hasil perolehan suara nasional sebagaimana ditetapkan oleh KPU dan itu terkait dengan dugaan pelanggaran administrasi pemilu secara TSM, maka seharusnya diajukan ke Bawaslu tanpa harus menunggu terlebih dahulu penetapan KPU tersebut. Mengapa hal itu tidak dilakukan dan mengapa harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi?" katanya.
Di sisi lain, dia berpandangan sikap pemohon yang lebih mendalilkan pada pelanggaran administrasi pemilu secara TSM agar MK mendiskualifikasi dan penyelenggaraan pemungutan suara ulang tanpa Paslon 02 jelas menunjukkan inkonsistensi.
Sebab, tuntutan pembatalan dan tuntutan pemungutan suara ulang adalah dua hal yang berbeda dan beda pula forum penyelesaiannya. Mencampuradukkan keduanya dengan melanggar kompetensi yang berujung 'salah kamar' adalah suatu pemaksaan untuk tidak menyebut kesesatan.
"Tidak dapat dibenarkan menanggalkan hukum formil dengan alasan untuk menegakkan hukum materiil. Hukum formil sebagai kepastian hukum yang di dalamnya mengandung keadilan prosedural tentu mendahului hukum materiil guna mewujudkan keadilan substansial," tegas dia.