WNI di Haiti Diminta Tinggalkan Ibu Kota Port au Prince
SinPo.id - Duta Besar RI Untuk Kuba – yang merangkap Persemakmuran Bahama, Republik Dominika, Republik Haiti dan Jamaika – Nana Yuliana meminta agar tujuh warga negara Indonesia (WNI) yang masih berada di ibu kota Port-au-Prince, Haiti, untuk segera meninggalkan negara itu mengingat semakin memburuknya situasi keamanan.
“Kami sudah meminta kepada tujuh WNI yang bekerja sebagai spa therapist di Port-au-Prince agar keluar dari Haiti dan bekerja di tempat yang lebih aman… Meskipun mereka belum mau meninggalkan Haiti dengan alasan lokasi mereka bekerja jauh dari tempat kerusuhan, tetapi saya tetap meng-encourage (mendorong.red) mereka untuk keluar dulu, pindah ke negara lain, hingga situasi aman,” ujar Nana saat dihubungi VOA Senin sore 4 Maret 2024
Tujuh WNI, yang seluruhnya perempuan, bekerja di dua lokasi spa yang letaknya sekitar 40 menit dari lokasi kerusuhan di jantung Port-au-Prince. Selain karena faktor lokasi, hal lain yang membuat mereka bertahan adalah faktor gaji dan penghasilan lain.
“Mereka bilang gaji dan kesejahteraan di sana masih menjanjikan, jadi mereka memutuskan tetap bekerja di sana… Saya sedih juga karena alasan mereka (untuk bertahan) karena uang, seolah-olah negara kita tidak bisa memberi pekerjaan yang layak bagi mereka sehingga jauh-jauh menjadi spa therapist di sana dengan mempertaruhkan kondisi keamanan. Demi keluarga, mereka tetap ingin bekerja agar mendapat penghasilan besar yang dapat membantu keluarga di Indonesia,” tambahnya.
Pihak berwenang Haiti telah memberlakukan jam malam untuk dapat mengendalikan kembali situasi di jalan-jalan setelah terjadinya aksi kekerasan selama akhir pekan lalu. Kelompok-kelompok bersenjata telah membobol dua penjara terbesar di Haiti dan membuat ribuan penjahat yang sedang menjalani hukuman penjara melarikan diri.
Menteri Keuangan yang juga Penjabat Perdana Menteri Patrick Boivert mengatakan telah memerintahkan polisi menggunakan segala cara yang legal untuk memberlakukan jam malam dan menangkap semua pelanggar aturan hukum.
Sementara Perdana Menteri Ariel Henry – hingga laporan ini disampaikan – belum diketahui keberadaannya setelah ia menandatangani sebuah kesepakatan bilateral di Kenya untuk membuka jalan bagi masuknya pasukan multinasional untuk membantu memulihkan keamanan di Haiti.
Situasi di Haiti ini menandai titik terendah baru dalam serangkaian aksi kekerasan di negara berpenduduk 11,5 juta jiwa itu. Sedikitnya sembilan orang tewas terburuh sejak Kamis lalu (29/2), empat diantaranya adalah polisi, ketika gerombolan orang bersenjata melakukan serangan terkoordinasi terhadap badan-badan pemerintah di Port-au-Prince. Ini mencakup serangan ke kantor-kantor polisi, bandara internasional dan bahkan stadio sepak bola.
KBRI Siapkan Evakuasi Lewat Darat
Nana Yuliana PhD mengatakan setelah setiap hari menelpon tujuh WNI yang bertahan di ibu kota Port-au-Prince itu, satu orang tampaknya akan keluar dan bekerja di Barbados. Sementara enam lainnya mengatakan masih betah dan akan terus bekerja di sana.
Pihak KBRI telah menyiapkan beberapa alternatif evakuasi mereka jika situasi semakin berbahaya, antara lain lewat jalan darat dari Port-au-Prince, Haiti ke Republik Dominika, yang berbatasan langsung dengan Kuba. Evakuasi lewat darat tersebut menjadi satu-satunya alternatif saat ini mengingat tidak ada pesawat yang masuk ke Haiti sejak sepekan terakhir. [em/lt]