Pembukuan Tak Layak, Heri Gunawan: Tak Boleh Jadi Alasan Tetapkan PMK Tentang Peredaran Bruto Wajib Pajak
Jakarta, sinpo.id - Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.15/PMK.03/2018 tentang cara lain menghitung peredaran Bruto dinilai merupakan suatu upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Karena, kewenangan penghitungan Wajib Pajak diserahkan pada peraturan Direktur Jenderal Pajak.
"PMK ini tak lain dari upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak yang ambisius sehingga harus menempuh berbagai cara mencapainya,” ujar politisi Gerindra itu saat dihubungi sinpo.id, Selasa (6/03/2018).
Alasan tersebut masuk akal, mengingat Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada APBN 2018 sebesar Rp 1.618,1 Triliun. Angka itu melejit 9,9 persen dibandingkan tahun 2017 yang hanya terpatok sebesar Rp 1.472,7 Triliun.
Dari penerimaan perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri harus mencapai target sebesar Rp 1.385,9 Triliun, sedangkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebesar Rp 194,1 Triliun. Hal itu memungkinkan Direktorat Pajak memutar otak untuk mengejar tambahan untuk memenuhi target APBN 2018.
"Artinya, Direktorat Jenderal Pajak dipaksa bekerja ekstra mengejar tambahan Rp144,1 Triliun dari target penerimaan pajak pada tahun 2017,” tambah anggota Komisi XI itu.
Pemerintah berdalih, gaya hidup Wajib Pajak (WP) soal peredaran brutonya tak dapat dibaca dengan pasti dari pembukuan. Penghitungan tak langsung pun dijadikan alasan pemberlakuan aturan. Padahal, ia menjelaskan petugas pajak saja belum mendapat kepercayaan publik karena oknum petugas yang nakal, ditambah ada aturan baru, maka akan menambah persoalan kedepannya.
"Ini adalah masalah psikologis. Kita tahu, kepercayaan publik terhadap petugas pajak masih rendah. Tidak semua petugas pajak itu bersih. Ada juga yang nakal. Belum lagi soal privacy di mana aparat pajak harus menilai omzet dari gaya hidupnya. Inilah yang jadi soal,” jelas Heri.
Aturan tentang cara lain menghitung peredaran Bruto, dari kacamata fiskus bisa dibenarkan. Tapi kalau dari kacamata legalitas, kurang bisa dibenarkan karena tidak didukung dengan data yang kuat.
Menurutnya, penghitungan pajak harus akurat, tidak boleh dikira-kira lewat perhitungan tak langsung. Tetap saja, pelaporan penghasilan harus dibuktikan dengan faktur, nota, kuitansi, dan lain-lain.
"Urusan pajak adalah urusan yang tidak boleh dikira-kira lewat perhitungan tak langsung. Harus akurat tanpa polemik. Kalau tidak, ini akan jadi masalah di kemudian hari. Gelombang protes kapan saja bisa terjadi,” terang anggota dari Dapil Jawa Barat IV ini.
Menurut pria yang akrab disapa Hergun ini, sebenarnya metode PMK ini bisa diberlakukan untuk WP yang sudah menyelenggarakan pembukuan dengan baik. Sebagai bukti penguatan, DJP bisa melakukan pengujian terhadap pelaporannya.
"Apabila sudah ada pembukuan, metode-metode yang ada di PMK ini masih tetap bisa dipakai. Untuk pemeriksaan terhadap WP yang sudah menyelenggarakan pembukuan dengan baik, tetap dimungkinkan untuk melakukan pengujian-pengujian terhadap pelaporannya,” urainya.
Ia menegaskan, pembukuan yang tak layak bukan acuan fiskus untuk menetapkan omzet peredaran bruto. Cara yang tepat menurutnya, cukup surati WP, minta data, lalu hitung bersama. Kalaupun terdesak, DJP tak boleh beralasan karena sifatnya operasional dan menjalankan kebijakan yang diambil, lantas bisa menghitung pajak dengan cara sendiri.
"Sekali lagi, tak ada alasan bagi fiksus untuk menetapkan langsung omzet peredaran bruto karena alasan pembukuan yang tidak layak. Solusinya sebetulnya sederhana saja, surati WP yang bersangkutan lalu bikin perbandingan data. Adu data. Bukan tiba-tiba langsung menghitung dengan caranya sendiri. Itu tidak arif,” tutupnya.

