sejarah

Cara Menelusuri Keberadaan Demak Bintoro dan Peran Politik Walisongo

Laporan: Sinpo
Senin, 27 November 2023 | 21:37 WIB
diskusi Sejarah Kerajaan Demak, di forum Suluk Senen Pahingan, Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen Kota Semarang, Minggu 26  November 2023. (SinPo.id/Ist)
diskusi Sejarah Kerajaan Demak, di forum Suluk Senen Pahingan, Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen Kota Semarang, Minggu 26 November 2023. (SinPo.id/Ist)

SinPo.id -  Penulis buku Sejarah Kerajaan Demak Bintoro, Ahmad Kastono mengatakan telah menganalisa 35 naskah babad dan serat untuk meneliti Sejarah Kerajaan Demak. Selain meneliti keberadaan kerajaan Demak, Ahmad juga meneliti Walisongo yang selama ini tak hanya dikenal sebagai penyebar agama Islam, namun terlibat aktif dalam kancah politik Kerajaan Islam di Jawa.

“Saya memfokuskan 35 naskah ini tentang nama walisongo yang dalam naskah babad disebut wali kramat,” ujar Ahmad Kastono, saat diskusi Sejarah Kerajaan Demak, di forum Suluk Senen Pahingan, Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen Kota Semarang, Minggu 26  November 2023.

Selain 35 naskah yang dianalisa ia juga mengkaji dua literatur tambahan yang sudah berusia minimal 60 tahun. “Sedangkan metodologi ada tujuh digunakan memperkuat penelitiannya tentang sejarah kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo,” ujar Ahmad Kastono.

Selain studi literatur dari babad dan serat, ia juga membaca dan menganalisa ratusan buku yang berbicara tentang Walisongo. Dari literatur terdapat 192 buku ternyata dewan Walisongo berjumlah 3 yakni periode periode Walisongo berjumlah 1 sampai 5, periode Walisongo berjumlah 8 dan tidak berperiode.

“Selain menggunakan metodologi literatur yang pada umumnya dipakai untuk penelitian, juga memakai metode Realisme Metafisika. Sebuah metode yang tidak lazim di dunia akademisi,” ujar Ahmad menjelaskan.

Penelitiannya mencoba membongkar kembali data Walisongo dan keberadaan Masjid Agung Demak yang seharusnya berada di tengah alun-alun. Ia meyakini letak yang sekarang  sebenarnya di atas tanah kuburan para wali dan santri Glagah Wangi, telah digeser oleh kepentingan kolonial Belanda membangun jalan raya Daendels waktu itu.

Dosen dan Filologi UNS Solo, Rendra Agusta menjelaskan pentingnya memahami jenis sejarah dalam konteks akademisi. Rendra mengatakan dalam studi sejarah paling tidak ada empat tahapan atau saya contohkan jenis sejarahnya dulu.

“Pertama, sejarah lisan. Sejarah lisan dapat diterima atau sahih ketika hidup sezaman. Kedua, namun kalau tidak sezaman disebut sebagai sejarah kronik seperti babad,” ujar Rendra.

Sedangkan jenis ketiga yakni sejarah kritis, sejarah yang ini dibenturkan banyak data. Ia juga mempertanyakan kenapa babad itu tidak sahih karena studi tentang Walisongo ditulis pada abad 17 dan 18 atau 19 yang kala itu sedikit sekali.

“Kalau kita memakai hitung-hitungan tahun, walisongo abad ke 16 awal, dengan naskah babad ada selisih 300 tahun. Bagaimana jarak 300 tahun untuk membuktikan sejarah tersebut, maka di kampus itu berhenti ketika data itu tidak bunyi,” ujar Rendra.

Menurut Rendra, tak menutup kemungkinan penelitian-penelitian selanjutnya menemukan kejelasan tentang Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo. Ia menjelaskan saat ini sudah ada alat uji. “Saya tidak memaksa naskah itu harus sahih. Semua yang sifatnya organik bisa diuji, di lapangan misalnya kertas itu bisa diuji,” katanya

Pengasuh Pondok Pesantren Al Itqon, KH Ubaidilah Shadaqoh mengatakan, Pemerintah Kabupaten Demak seharusnya bisa memfasilitasi dan menampung hasil-hasil temuan yang dilakukan para peneliti dan penulis buku Sejarah Demak sebagai penghargaan intelektual.

“Diakui hingga kini belum ada satu pun jejak, yang menjadi titik terang dimana Kerajaan Demak berada,” ujar Ubaid.

Ia meyayangkan sejumlah penelitian yang menjelaskan keberadaan kerajaan Demak, baik dari literasi  maupun arkeologi dan pemikiran. Namun sayangnya menguap begitu saja karena tanpa perhatian dari Pemda setempat.

 

BERITALAINNYA
BERITATERKINI