Jubir Gerindra: MKMK Forum Penegakan Etik Dugaan Pelanggaran Etik-Perilaku Hakim Konstitusi
SinPo.id - Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi, Munafrizal Manan, menyatakan bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) merupakan forum penegakan etika terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi oleh hakim konstitusi.
Pernyataan itu disampaikan Munafrizal merespons pernyataan Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana yang menyampaikan bahwa Ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman juga mengikat untuk hakim konstitusi, walaupun MK bukan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA). Pernyataan itu disampaikan Denny dalam Sidang MKMK yang terbuka untuk umum pada Selasa, 31 Oktober 2023
Munafrizal meminta agar MKMK tidak digiring, didorong, dan dipaksa untuk memutus yang bukan ranah tugas dan wewenangnya.
“(MKMK) bukan forum upaya hukum atas putusan MK yang menurut UUD 1945 bersifat final,’ kata Munafrizal dalam keterangan pers yang diterima SinPo.id pada Rabu, 1 November 2023.
Ia mengaku menghormati pendapat hukum Denny tersebut. Namun, menurut Munafrizal argumentasi hukum yang disampaikan tidak komprehensif memahami UU Kekuasaan Kehakiman.
“Oleh karena itu perlu diluruskan agar tidak keliru dipahami oleh MKMK dan masyarakat umum. Sesungguhnya Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah secara jelas menyebutkan dan membedakan tentang batasan pengertian hakim, hakim agung, hakim konstitusi, dan hakim ad hoc,” ujar mantan peneliti di MK itu.
“Ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan penggunaan kata-kata tersebut dalam UU Kekuasaan Kehakiman,” imbuhnya.
Munafrizal bilang, ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman secara jelas menyebutkan kata ‘hakim’ yang secara spesifik dan limitatif dimaksudkan untuk hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 yaitu hakim pada Mahkamah Agung (MA) dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya.
Menurutnya, penggunaan kata hakim dengan huruf ‘h’ kecil dalam Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman tidak dapat diartikan generik berlaku untuk semua hakim dan termasuk hakim konstitusi, karena ketentuan dalam pasal-pasal lain dalam UU Kekuasaan Kehakiman secara jelas menggunakan penyebutan berbeda untuk kata hakim dan hakim konstitusi.
“Perbedaan penyebutan kedua kata ini mempertegas ditujukan untuk siapa ketentuan tersebut (addressaat norm),” ucap Munafrizal.
Bila dibaca dengan saksama Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman, ia melanjutkan, di sana sangat jelas menyebutkan dan membedakan kata hakim dan hakim konstitusi sehingga menjadi jelas pula sesungguhnya dimaksudkan untuk siapa.
Menurutnya, Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman secara jelas menunjukkan perbedaan penggunaan kata hakim dan kata hakim konstitusi.
“Oleh karena itu, penyebutan kata hakim bukan dimaksudkan untuk hakim konstitusi, sebaliknya penyebutan kata hakim konstitusi bukan dimaksudkan untuk hakim,” tuturnya.
“Dengan demikian, menjadi sangat terang-benderang menurut hukum bahwa Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menyatakan tidak sah dan membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” Munafrizal menambahkan.
Sebelumnya, Denny bilang, kata ‘hakim’ di pasal Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman ditulis dengan huruf ‘h’ kecil, sehingga ini generik berlaku untuk semua hakim, termasuk hakim konstitusi. Pendapat Denny itu pun dikutip dan diberitakan oleh sejumlah media massa.