Anak Muda dan Pemilu Indonesia
Pertama kali isue anak muda mewarnai politik Indonesia, panas sejak Mahkamah Konstitusi (MK) harus memutuskan anak muda dibawah 40 tahun boleh masuk sebagai Capres Cawapres dengan syarat pernah menjabat kepala daerah. Ini memamg dilemma, dilarang masuk tapi di dunia banyak sekali presiden dan perdana menteri usia muda. Dibolehkan masuk galau karena ada isue politik of interest dari MK. Ini agak rumit.
Sementara keadaan dunia berubah sangat cepat, generasi medis sosial (Medsos) menguasai panggung politik nasional secara riil. Medsos menjadi kekuatan menguasai dan membentuk opini, terutama sekali di lingkungan anak muda sendiri. Anak muda memguasai benar perangkat telekomonikasi yang canggih saat ini dan mengoptimalkanya bahkan sebagai alat produksi.
Kata anak muda sekarang selama ada kuota internet masalah lapangan pekerjaan bisa mereka atasi. Saya permah diketawain anak muda perempuan karena mempertanyakkan bagaimana mereka mendapat pekerjaan ditengah dinamika transisi yang dahsyat saat ini.
Digitalisasi memang sulit dipahami penuh oleh orang orang tua yang punya handphone canggih tapi paling bisa hanya digunakan untuk chating balas balasan wa atau google untuk mencari data. Hanya sebagian kecil orang tua yang mampu dan mau belajar. Tapi memang sulit, kalau pun bisa tak akan sanggup, kalaupun sanggup tak akan kuat.
Saya sendiri mencoba memgawasi anak saya di roblox dengan membuka akun sendiri baru satu jam sudah mual mual. Dunia Sekarang memang untuk kaum muda.
Orang tua memang generasi balapan ayam dengan dana anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) dan dana bank, sementara muda adalah generasi platform digital, mereka tidak sekedar main mainan, tapi menciptakan uang sendiri secara bottom up yang tak bisa dipahami kaum tua.
Bahkan sekelas the federal reserve kebingungan menghadapi kaum digital. Mereka menciptakan central bank digital curency (CBDC) tapi ditertawakan oleh anak muda sebagai agenda keuangan orang orang pikun yang mencoba mengatur keuangan dan menetapkan nilai secara top down, sementara anak anak muda sudah menciptakan alat transaksi dalam komunitas mereka secara bottom up system.
Di Indonesia lebih parah lagi, para pengatur negara hanya sekedar mengizinkan atau melarang platform digital. Menyedihkan karena digital itu akan telah menembus dinding pembatas negara yang paling tebal sekalipun.
Ini adalah praktek ketidak mampuan memahami pembaharuan dunia yang harus diterjemahkan dalam regulasi sehingga digital optimal senagai alat produksi dan daya untuk menopamg kemajuan.
Namun Indonesia tidak terlambat untuk sebuah pencapaian. Netizen Indonesia namanya sudah terkenal seantero dunia, jika diusik maka akan menjebol. Hal itu sudah dialami banyak orang di dunia karena mengusik netizen Indonesia yang dituduh berisik.
Saat mendekati Pemilu seperti saat ini kita menyaksikan sebuah lompatan penting, yakni diperdebatkan anak muda 40 tahun masuk ke dalam kancah Pilpres. Perdebatan ini akan menghasilkan gejolak dan gelora anak muda Indonesia yang tidak bisa dipandang enteng.
* Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)