Komnas Perempuan Peringati Hari Guru Sedunia 2023
SinPo.id - Guru merupakan profesi strategis dalam membentuk karakter generasi bangsa, termasuk karakter dalam menerima keragaman berbasis suku, agama, keyakinan, ras, gender, dan lainnya. Namun demikian, masih ada jurang di beberapa satuan pendidikan terkait pemahaman, kesadaran, serta kepekaan sosial masyarakat terhadap perbedaan yang merupakan keniscayaan tersebut.
Alimatul Qibtiyah, Ketua Subkomisi Pendidikan Komnas Perempuan, mengapresiasi kontribusi guru dalam mencerdaskan dan menumbuhkan nilai-nilai toleransi, anti kekerasan dan anti diskriminasi pada peserta didik. Namun dalam realitasnya, masih terjadi sikap guru yang justru memberikan contoh intoleransi dan menolak keragaman penafsiran.
“Peristiwa ciputisasi, pencukuran rambut 19 siswi gara-gara dianggap tidak mengenakan jilbab dengan baik karena tidak menggunakan ciput (dalaman jilbab) beberapa waktu yang lalu di salah satu sekolah negeri selain berdampak traumatis bagi korban juga memantik keprihatinan kita tentang peran guru menumbuhkan nilai anti kekerasan di sekolah,” ujar Alim. Hal ini ia sampaikan di Jakarta dalam memperingati Hari Guru Sedunia, 5 Oktober 2023 yang bertema the teachers we need for the education we want (guru yang kita butuhkan untuk Pendidikan yang kita inginkan).
Komnas Perempuan mengenali bahwa pelembagaan aturan busana berbasis agama terkait erat dengan keberadaan kebijakan diskriminatif atas nama agama mayoritas dan otonomi daerah. Sejak 2009, Komnas Perempuan telah menyuarakan persoalan ini dan dampak spesifik pada perempuan, komitmen negara dalam pemenuhan HAM, demokrasi dan integritas hukum nasional. Sekurangnya mencatat masih ada 73 dari 114 kebijakan daerah yang diterbitkan dari tahun 1999 tentang pewajiban busana yang masih berlaku hingga kini.
“Menghargai pilihan perempuan pada busana yang ia kenakan sesuai dengan hati nuraninya adalah langkah penting menghapuskan kekerasan dan diskriminasi atas dasar agama dan gender,” tegas Alim.
Menurutnya, penghargaan tersebut terutama penting dilakukan oleh negara sebagai pemangku tanggung jawab HAM, termasuk hak untuk merasa aman melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasinya, dalam hal ini atas dasar agama/keyakinannya. Konsultasi dengan komunitas penyintas mengonfirmasi bahwa pemaksaan identitas agama mayoritas dan tafsir tunggal agama telah mengakibatkan trauma mendalam bagi perempuan yang diintimidasi, direndahkan, dan dibuat merasa tidak sempurna.
“Bukan saja menyebabkan pelajar putri tidak mau melanjutkan sekolah, bahkan ada yang mencoba bunuh diri karenaan deraan yang begitu hebatnya ia rasakan akibat situasi tersebut,” jelas Alim.
Komnas Perempuan menengarai bahwa paparan pemikiran radikal dan pelembagaan kebijakan diskriminatif di lembaga pendidikan berkontribusi pada kecenderungan intoleransi di kalangan pelajar, dengan dampak spesifik pada pelajar putri yang menjadi target pengaturan. Selain berangkat dari hasil konsultasi dengan komunitas penyintas dan pendamping, pandangan ini juga dikuatkan dengan temuan riset Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesia (INFID) pada Mei 2023 tentang peningkatan jumlah pelajar intoleran aktif di Sekolah Menengah Atas (SMA) se-derajat di lima kota Indonesia. Riset tersebut menunjukkan bahwa 56,3% pelajar setuju penerapan syariat Islam, 83,3% menilai Pancasila dapat diganti, karena bukan ideologi negara yang permanen, serta 61,1% pelajar menyatakan lebih nyaman jika semua siswi berjilbab.
“Upaya pemerintah untuk menyikapi ini masih parsial dan belum solid, seperti tampak pada penanganan kebijakan diskriminatif tingkat daerah yang belum efektif,” ungkap Imam Nahei, Komisioner Komnas Perempuan.
Nahei menjelaskan, kondisi serupa ini juga tampak pada putusan Mahkamah Agung pada Mei 2021 lalu yang membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang melarang pemaksaan maupun pelarangan atribut agama dalam seragam sekolah.
Komnas Perempuan, karenanya, mengapresiasi dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Komisioner Maria Ulfah Anshor mengingatkan bahwa dalam pelaksanaan peraturan tersebut terdapat beberapa hal yang perlu dikembangkan sebagai bentuk preventif paparan radikalisme. Di antaranya, program penguatan kapasitas guru sebagai upaya peningkatan pengarusutamaan toleransi, metode pembelajaran didesain terbuka dan menghargai adanya perbedaan, mengasah kewaspadaan guru pada politisasi agama yang berpotensi melahirkan konflik identitas agama/keyakinan, mencegah terjadinya normalisasi politik identitas, serta mengawasi kegiatan ekstrakurikuler, terutama kajian keagamaan di satuan Pendidikan agar tidak menjadi ruang penyebaran pandangan ekstrem yang justru meneguhkan diskriminasi dan kekerasan berbasis agama dan gender.
“Kita perlu mencetak generasi bangsa khususnya lewat pelajar, guru, serta lingkungan sekolah yang menyuarakan toleransi aktif dalam membendung sikap intoleransi, tidak hanya bersikap toleran dalam diam,” pungkas Maria Ulfah.