Perempuan Greenland Minta Kompensasi Kepada Pemerintah Atas Program Pengendalian Angka Kelahiran
SinPo.id - Sekelompok perempuan dari Greenland menuntut kompensasi kepada pemerintah Denmark atas kampanye pengendalian kelahiran paksa pada tahun 1960-an. Mereka masing-masing meminta 300 ribu kroner atau US$42.150.
Berdasarkan catatan dari arsip nasional, antara tahun 1966 dan 1970, pemerintah memasang alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) sekitar 4.500 perempuan, yang beberapa di antaranya berusia 13 tahun pada saat itu, tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka.
Pemasangan alat kontrasepsi tersebut, merupakan bagian dari program yang bertujuan untuk membatasi angka kelahiran di kalangan penduduk asli, dan beberapa di antara mereka yang meminta kompensasi saat ini telah berusia 70-an.
Pasalnya, program pemerintah itu baru terungkap tahun lalu dalam sebuah podcast yang diterbitkan oleh lembaga penyiaran Denmark. Sementara penyelidikan terkait hal itu dijadwalkan selesai pada 2025.
“Kami tidak ingin menunggu hasil penyelidikan. Kami semakin tua. Yang tertua di antara kami, yang dipasangi IUD pada tahun 1960an, lahir pada tahun 1940-an dan mendekati usia 80 tahun. Kami ingin bertindak sekarang," kata psikolog Naja Lyberth, yang memprakarsai klaim kompensasi. Dilansir dari BBC, Selasa 3 Oktober 2023.
Selain itu, ia mengatakan bahwa dalam beberapa kasus, perangkat yang dipasang terlalu besar untuk tubuh gadis-gadis tersebut, sehingga menyebabkan komplikasi kesehatan yang serius atau bahkan kemandulan.
Terlebih, para wanita tersebut tidak menyadarinya sampai perangkat tersebut ditemukan baru-baru ini oleh dokter kandungan. Sehingga ia menuduh pemerintah Denmark saat itu ingin mengendalikan jumlah penduduk Greenland untuk menghemat uang negara.
“Sudah 100 persen jelas bahwa pemerintah telah melanggar hukum dengan melanggar hak asasi manusia dan menyebabkan kerugian serius bagi kami,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Greenland berpenduduk hanya 57 ribu jiwa dan merupakan pulau terbesar sekaligus wilayah paling utara di dunia. Wilayah ini memiliki bendera, bahasa, dan perdana menterinya sendiri, meskipun mata uang, sistem peradilan, serta urusan luar negeri dan keamanannya masih dikendalikan oleh Denmark.