Enggan Usut Kasus Bea Masuk Oknum Pejabat Bea Cukai, Ada Apa Kejagung?
Jakarta, sinpo.id - Bermula dari data yang diberikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nasional Corruption Watch (NCW), yang mempertanyakan keseriusan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus bea masuk terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dan manipulasi pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) oleh PT Sido Bangun Plastic Factory.
NCW juga menggugat komitmen dari Kejagung, dalam menangani kasus tersebut. Pasalnya, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan oleh Kejagung Nomor: Print-71/F.2/Fd.1/09/2017, sampai saat ini kasus tersebut belum juga terungkap. Padahal kasus ini sudah lama terjadi dan PT Sido Bangun sudah bubar dan dinyatakan pailit oleh vonis Mahkamah Agung, sejak tahun 2013.
"Adapun dugaan kerugian negara akibat kasus tersebut bernilai Rp 22,5 miliar. Sugeng Apriyanto saat itu sebagai Kepala Kantor Pengawasan Bea Cukai Type Madya Cukai (KKPBC-TMC) Malang, adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Anehnya, orang yang saat itu sedang bermasalah, tetapi justru mendapatkan promosi sebagai direktur di Ditjen Bea Cukai. Dia naik dari sebelumnya hanya pejabat eselon 3, sekarang menjadi eselon 2,” papar Ketua NCW, Syaiful Nazar seperti dilansir Law-Justice.co, Kamis (15/2/2018).
Untuk itulah pihaknya mendesak Kejagung agar segera melakukan penyidikan terhadap Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Bea dan Cukai, Sugeng Apriyanto, terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dan manipulasi tersebut. Jika tidak, hal tersebut menurut Syaiful bakal menjadi preseden buruk terhadap kinerja Bea dan Cukai.
Dimana ke depan bila ada perusahaan telah mendapatkan fasilitas berupa penundaaan pembiayaan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, saat bermasalah, seolah-olah pailit. "Padahal, berdasarkan undang-undang kepailitan, untuk mempailitkan sebuah perusahaan minimal memiliki dua kreditor yang tagihannya tidak dibayarkan," paparnya.
NCW juga mempertanyakan terkait beberapa hal, di antaranya adanya surat dari Direktorat Kepatuhan Internal No SR 12 tanggal 31 Maret 2015 tentang penyelesaian pailit PT Sido Bangun Plastic Factory. Juga hasil pencacahan Bea Cukai Malang berjumlah Rp 26 miliar, yang disampaikan kepada kurator Indra Wijaya melalui Surat No 2383/wbc.11/KKP mc.01/2012 tanggal 10 Juli 2012.
“Yang menjadi pertanyaan, mengapa sejak pertemuan Sugeng dengan kurator dari nilai bea masuk Rp 26 miliar berubah jadi Rp 3,5 miliar,” katanya. Perubahan nilai uang inilah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh Sugeng. Padahal bukti-buktinya sangat kuat dan saksinya masih hidup, lanjut Syaiful.
Merujuk investigasi yang dilakukan Law-Justice.co, uang yang disetor resmi ke kas negara oleh Sugeng hanya Rp 3,5 miliar. Sisanya Rp 22,5 miliar bisa jadi menguap ke berbagai pihak. Yang pasti selain Sugeng, yang tahu uangnya mengalir kemana saja, ya pasti kurator pailitnya, Indra Wijaya.
Tim Law-Justice.co sudah mencoba mengkonfirmasi kasus ini kepada Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Warih Sadono dan juga Kahumas Kejagung, M.Rum. Namun keduanya tidak merespon telepon dan pesan whatsapp yang dikirimkan tim Law-Justice.co.
Padahal kasus ini sempat ditanyakan seorang anggota Komisi III DPR bidang hukum saat acara rapat kerja dengan Jaksa Agung, Prasetyo, beberapa waktu lalu. Saat itu Jaksa Agung hanya berkata pendek akan menindaklanjutinya serta memberikan jawabannya pada rapat kerja dengan komisi III selanjutnya.
Modus pengurangan nilai bea masuk dan cukai seperti kasus PT Sido ini bukanlah hal baru. Jika penegak hukum cermat, kasus serupa banyak terjadi di daerah-daerah yang menjadi pintu masuk zona perekonomian dan wilayah perbatasan.
Tim Law-Justice.co sempat mengendus keberadaan pejabat Bea Cukai, Sugeng Apriyanto dikantornya. Namun Sugeng menolak untuk diwawancarai berkaitan dengan kasus itu. Koleganya mengatakan Sugeng tidak tahu menahu soal kasus tersebut dan soal PT Sido sudah lama berlalu.
Awalnya Kasus Pailit
Kasus pailit PT Sido Bangun ini berawal saat perusahaan yang berada di pinggir jalan raya Malang – Surabaya ini terpaksa dipailitkan setelah digugat Bank BRI, yang memiliki tagihan kepadanya. Karena tidak mampu melakukan pembayaran, pihak perbankan mengajukan gugatan pailit terhadap perusahaan plastik tersebut. Gugatan tersebut diterima dan aset yang ada bakal dibagikan secara merata sesuai ketentuan.
Aset PT Sido Bangun Plastic Factory yang berlokasi di Singosari, Kabupaten Malang dilelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Malang, pada Agustus 2012. Kurator lelang, menawarkan aset PT Sido Bangun Plastic Factory yang nilainya mencapai Rp 217 miliar.
Ketika itu, perusahaan plastik yang berorientasi pasar ekspor ke Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa ini limbung akibat krisis ekonomi pada 2008. Selain itu, perusahaan ini juga terkena kasus masalah bea pembayaran cukai. Karena dipailitkan, pihak tenaga kerja juga memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari hasil lelang aset tersebut.
Ada 1.500 karyawan yang telah didaftarkan oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Malang untuk mendapatkan haknya berdasarkan undang-undang. ”Ada Rp 37 miliar hak pekerja yang harus dibayarkan nantinya oleh kurator dari hasil lelang aset ini. Ini terdiri dari gaji dan juga pesangon yang harusnya diterima karyawan PT Sido Bangun.
Menyeret Nama Hakim Agung
Kasus pailit PT Sido Bangun ini sempat menyeret nama Hakim Agung, Hatta Ali yang sekarang telah menjadi Ketua Mahkamah Agung. Hatta dinilai ikut mengintervensi seorang hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menangani kasus pailit PT. Sido Bangun Plastik Factory, pada Desember 2011.
"Kita menolak intervensi itu," kata Koordinator Aksi Badan Pekerja Advokasi Buruh PT. Sido Bangun Plastic Factory Agus H Darmawan, saat mereka mendemo Hatta Ali di Kantor Mahkamah Agung, Jakarta, 19 Desember 2011.
Hatta Ali melakukan intervensi terhadap putusan PN Surabaya bahwa kasus pailit PT Sido Bangun sudah harus dieksekusi. Bahwa PT Sido Bangun kolaps seperti dinyatakan Hatta Ali tidaklah benar. Saat itu, perusahaan Sido Bangun malah sedang maju pesat dan di back up oleh dua perusahaan BUMN. Namun perjuangan buruh ini kandas dan Sido tetap dinyatakan pailit.
Sekarang lahan eks PT Sido dibeli pengusaha plastik juga dengan bendera PT Kencana Tiara Gemilang (KTG). Perusahaan KTG inilah yang membeli seluruh kepemilikan barang dan lahan PT Sido Bangun melalui lelang dengan harga Rp100 miliar. Bangunan ini terletak di atas tanah seluas 77.200 meter persegi di Singosari, Malang dengan kapasitas produksi mencapai 36.000 MT biji plastik per tahun. Pabrik ini telah beroperasi sejak 2015 dengan memproduksi barang sekitar 100 ton per bulan.

